Kanjeng
Sunan Kalijaga seorang tokoh wali songo, beliau mempunyai peranan yang amat
penting dalam penyebaran agama islam di jawa. Peran yang paling nyata adalah
melanjutkan pengislaman tanah jawa dan memperkuat landasan islami di kalangan
masyarakat.
Kokohnya budaya dan
adat-istiadat orang jawa yang berakar kepada nilai-nilai islam itulah
barangkali karya sunan kalijaga yang paling penting dalam perkembangan islam di
Indonesia khususnya di jawa. Berikut ini adalah Ajaran Tasawuf Sunan Kalijaga.
1. Pengamalan Syariat
Syariat tidak harus dipahami
secara literal dan tidak juga harus dimengerti secara harfiah.Kita harus bisa
memahami makna yang ada di balik yang tampak, kemudian diamalkan untuk
kehidupan nyata.
Tidak seluruh bentuk syariat
yang menjadi perhatian sunan kalijaga. Beberapa hal yang menjadi kunci amalan
dalam agama islam, seperti sholat dan haji, yang menjadi perhatiannya. Kedua
ibadah ini dilaksanakan secara demonstratif oleh umat islam.
a) Ibadah Sholat
Keunggulan seseorang itu
terletak pada pemahaman dan penghayatan dari kesejatian sholat, penyembahan dan
pujian, bukan pada sholat lima waktu. Oleh sunan bonang, mengerjakan sholat
lima kali sehari disebut sembahyang, sifatnya hanyalah tata karma dalam
pergaulan umat islam dan hakikat mengerjakannya hanyalah hiasan bagi sholat
daim.
Sholat daim disebut sebagai
kebaktian yang unggul, karena semua tingkah laku merupakan wujud dari
sembahyang. Jadi, sholat daim adalah sholat sepanjang hayat, tidak pernah
terputus dalam keadaan apa pun dan di mana pun. Diam atau bicara, istirahat
atau bekerja, tidur maupun bangun, senantiasa sholat.Semua gerak tubuh ini
merupakan sembahyang.
Bukan hanya wudhu, bahkan
tatkala bertinja dan kencing pun dalam keadaan sholat. Dalil dari sholat daim
itu sendiri terdapat di dalam Al-qur’an, mengingat hakikat sholat dalam
Al-qur’an ditujukan untuk berzikir kepada Allah dan mencegah perbuatan keji dan
mungkar.
b) Ibadah Haji
Rukun islam dalam bentuk puasa
dan zakat tidak mendapat porsi utama dalam ajaran islam yang diamalkan sunan
kalijaga. Puasa dan zakat bukan hal yang istimewa bagi masyarakat nusantara
termasuk jawa pada waktu itu. Puasa dan zakat merupakan sikap hidup sebagian
besar masyarakat nusantara. Maka dari itu, ibadah haji dipandang sebagai
masuknya tata cara yang baru dalam hidup beragama.
Sunan kalijaga menggambarkan
bahwa ibadah haji itu buka pergi secara fisik ke kota mekah yang ada di jazirah
arab. Tidak ada yang tahu letak mekah sejati, karena ada di dalam diri.
Menempuhnya harus sabar dan rela hidup di dunia tanpa terjebak keduniaan.Inilah
yang disebut dengan haji.Sabar dan ikhlas dalam meniti kebenaran.
Sabar berarti tahan uji dalam
menempuh kehidupan ini. Terus bertekad menempuh jalan yang benar meski godaan
dan rintangan menghadang.orang yang sabar tak akan berhenti di tengah jalan dalam
mencapai tujuannya. Sedangkan ikhlas atau rela adalah kesanggupan untuk hidup
tak terkontaminasi atau tercemari kotoran dunia.
Tak ikut-ikutan berebut takhta,
harta, dan dunia.Semua ini dikatakan sebagai haji karena tujuan haji adalah
untuk menjadikan manusia sempurna, insan kamil.
Jika kesalehan dalam hidup ini
sudah menjadi bagian pelaksanaan syariat agama, selanjutnya kita tinggal
meningkatkan keimanan dan ketakwaan hidup ini.Meningkatkan keikhlasan dan
semangat hidup yang benar.Tanpa wujud nyata dalam hidup ini maka syariat
hanyalah formalitas belaka.
2. Tarekat Sunan
Sunan kalijaga adalah seorang
mistikus. Dia mistikus islam sekaligus mistikus jawa. Tentu saja dia seorang
sufi dan pengamal tarekat. Berdasarkan saresahan wali, yang menjadi sumber pelajaran
keimanan dan makrifat adalah kitab ihya’ ulum ad-din karya Imam al-Ghazali. Tentunya tarekat yang dianutnya
adalah ghazaliyyah.
Tetapi, jika dilacak dari
berbagai tembang yang ditulisnya, atau serat suluk tentang dirinya, jelas amat
sulit menggolongkan sunan ke dalam tarekat tertentu.Tampaknya sunan meramu
ajaran tarekat yang berasal dari luar dengan praktik mistik jawa.
a) Meditasi dan
kontemplasi
Meditasi atau semedi merupakan
salah satu cara dalam tarekatnya sunan kalijaga. Meditasi atau semedi dapat
disamakan dengan zikir. Melakukan meditasi tidak sama dengan olahraga
pernapasan. Kalau olahraga yang diperhatikan hanyalah badan jasmani saja,
tetapi dalam meditasi ada daya upaya, usaha, untuk meningkatkan kesempurnaan
spiritual.
Pertama, bagi yang hendak
melakukan semedi harus melakukan sesaji ing sagara, yaitu mengutamakan peranan
kalbu.Sagara atau lautan dalam pandangan jawa merupakan lambang bagi hati atau
kalbu. Harus bisa mengendalikan hati sehingga pengembaraan perasaan, pikiran
dan permana menjadi satu.
Kedua, semedi merupakan cara
untuk membersihkan diri dari program lama yang masih melekat pada pita kaset
hidup ini. Ketiga, bila zikir yang dilakukan telah sempurna benar-benar, yakni
angan-angan, pikiran dan ilusi telah lenyap, maka batin sang pezikir selamat
sentosa. Dia terbebas dari segala gangguan batin.
b) Kesalehan dalam hidup
Dalam bahasa agama, amar makruf (menyeru kematian) merupakan wujud kesalehan dalam
hidup. Baik itu kesalehan pribadi maupun social.Amar makruf merupakan perintah
untuk berbuat dan bertindak kebajikan. Yaitu, perbuatan baik yang sudah dikenal
oleh masyarakat. Sesuatu yang makruf itu merupakan wujud dari kearifan local.
Artinya, apa yang ma’ruf di jazirah Arabia, belum tentu ma’ruf di jawa.
Dalam kemakrufan local dikenal
apa yang namanya Pancasetya, yaitu setya budaya, setya wacana, setya semaya,
setya laksana, dan setya mitra.
·
Pertama, setya budaya. Dengan budayanya, manusia mencoba mengatasi
alam lingkungan hidupnya untuk kesejahteraan hidupnya.
·
Kedua, setya wacana. Memegang teguh ucapannya.Apa yang diperbuat
sesuai dengan yang dikatakan.
·
Ketiga, setya semaya. Dalam kehidupan ini kita harus senantiasa
menepati janji.Janji merupakan ucapan kesediaan atau kesanggupan untuk
memberikan sesuatu.
·
Keempat, setya laksana. Yaitu bertanggung jawab atas tugas yang dipikulnya.
·
Kelima, setya mitra. Artinya, yang dibangun dalam kehidupan ini
adalah persahabatan dan kesetiakawanan. Dalam bahasa kehidupan modern yang kita
bangun dalam kehidupan social adalah partnership atau kemitraan.
Tarekat sunan kalijaga yang
intinya mengamalkan zikir dan meditasi dalam kehidupan sehari-hari, merupakan
cara untuk mencapai kesadaran hidup. Bentuk dari kesadaran itu adalah amar
makruf nahi mungkar dengan basis budaya jawa.
Islam yang dibawakan sunan
kalijaga benar-benar menjadi rahmat bagi sekalian alam. Islam dibawakan dengan
gaya tarekatnya sendiri, yaitu tarekat ala jawa.
3. Memahami Hakikat
Tahap terakhir dalam perjalanan
penyempurnaan diri adalah makrifat. Sebelum mencapai tahap itu, maka kita harus
memahami hakikat karena makrifat merupakan buah dari hakikat.Langkah pertama
dalam tahap hakikat adalah mengenal diri.
Karena dengan mengenal dirinya
itulah dia akan mengenal Tuhannya. Ada empat ketakjuban yang harus dipahami
dalam tahap hakikat. Yaitu, ketakjuban pada syahadat, takbir, menghadap kepada
Tuhan, dan sakaratul maut.
a) Ketakjuban terhadap
Syahadat
Syahadat sebenarnya kesaksian.
Dengan demikian, orang yang bersyahadat berarti orang yang bersaksi. Jelas
sekali bahwa syahadat bukan mengucapkan dua kalimat syahadat belaka, melainkan
ada kesadaran yang hadir ketika kalimat itu diucapkan. Jadi, bersyahadat bukan
formalitas ucapan tentang kesaksian saja.
b) Ketakjuban terhadap
Takbir
Selama ini takbir hanya
dimaknai sebagai ucapan Allahu Akbar. Sebenarnya kekaguman pada takbir itu
adalah pengucapan yang lahir dari firman Allah untuk memuji dzat-Nya, keagungan-Nya,
kekaguman yang timbul di dalam hati yang menerima belas kasih-Nya.Jadi, takbir
yang sebenarnya itu hasil dari penghayatan diri terhadap sifat Allah.
c) Ketakjuban saat
menghadap Allah
Ada perbedaan diantara manusia
dan Allah.Allah adalah sumber kebahagiaan, sumber kedamaian dan sumber
keselamatan. Meskipun demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa menangkap
kebahagiaan itu. Hakikat rasa adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan
kehadiran Tuhan.
d) Ketakjuban saat
Sakaratul Maut
Sakaratul maut harus dijemput
secara mapan. Mantap dan tidak goyah dalam menghadapinya. Dalam keadaan
sakaratul maut, teroris dan penggembira mungkin datang silih berganti. Mungkin
semua itu menjadi tak berarti bagi yang terlatih meditasi. Bagi yang biasa
zikir, kesadaran itu bagian dari hidupnya. Meditasi atau zikir adalah cara
untuk melatih diri untuk bias menolong dirinya dalam menghadap Tuhan.
4. Ma’rifat Kepada Allah
Makrifat adalah hadirnya
kebenaran Allah pada seorang Sufi dalam keadaan hatinya selalu berhubungan
dengan “Nur Ilahi”. Makrifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan dalam akal pikiran.
Jika meningkat makrifatnya,
maka meningkat pula ketenangan hatinya. Akan tetapi tidak semua sufi dapat
mencapai pada tingkatan ini, karena itu seorang sufi yang sudah sampai pada
tingkatan makrifat ini memiliki tanda-tanda tertentu, antara lain :
1.
Selalu memancar cahaya makrifat
padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu sikap wara selalu ada
pada dirinya.
2.
Tidak menjadikan keputusan pada
suatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata
menurut ajaran Tasawuf belum tentu benar.
3.
Tidak meginginkan nikmat Allah
yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya pada hal yang haram.
4.
Dari sinilah kita dapat melihat
bahwa seorang sufi tidak menginginkan kemewahan dalam hidupnya, kiranya
kebutuhan duniawi sekedar untuk menunjang ibadahnya, dan tingkatan makrifat
yang dimiliki cukup menjadikan ia bahagia dalam hidupnya karena merasa selalu
bersama-sama dengan Tuhannya.
5.
Sampai pada tingkatan yang
paling tinggi dalam pencapaiannya sebagai seorang sufi, Sunan Kalijaga telah
melewati beberapa tahapan untuk dapat menuju tingkatan makrifat dan mengenal
siapa dirinya. Dalam perjalanan spiritualnya yang digambarkan dalam sebuah
simbol kehidupan.
Dalam Suluk seh Malaya disebutkan “Lamun siro arsa munggah kaji, marang
mekah kaki ana apa,….lamon ora weruh ing kakbah sejati, tan wruh iman hidayat”
artinya, jika kamu akan melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, kamu
harus tahu tujuan.
Bila belum tahu tujuan yang
sebenarnya dari ibadah haji, tentu apa yang dilakukan itu sia-sia belaka.
Demikianlah sesungguhnya iman hidayat yang harus kau yakini dalam hati.
Keyakinan iman hidayat tidak
mungkin ditemukan di luar diri manusia, namun ia sesungguhnya terletak di dalam
diri atau batin manusia itu sendiri.
Dalam naskah Suluk Linglung disebutkan “cahaya gumawang tan wruh arane,
pancamaya rampun, sejatine tyasira yekti, pangareping salira”. Artinya, cahaya yang mencorong tapi tidak diketahui namanya adalah
pancamaya yang sebenarnya ada di dalam hatimu sendiri, bahkan mangatur dan
memimpin dirimu.
Maksudnya manusia yang telah
menyingkap dimensi batinnya, akan mengetahui hakikatnya, bahwa asal-usulnya
dari Allah, berupa kesatuan hamba dengan Tuhan adalah Manunggaling Kawula-Gusti
atau dalam Suluk Linglung diungkapkan dengan iman hidayat.
Proses ini dalam Suluk Linglung
tercermin dalam kutipan “Lah ta mara
seh Malaya aglis, umanjinga guwa garbaningwang” ,artinya, Seh Malaya segeralah kemari secepatnya, masuklah ke dalam
tubuhku.
Dalam tahap ini jiwa manusia
bersatu dengan jiwa semesta. Melalui kebersatuan ini maka manusia mencapai
kawruh sangkan paraning dumadi, yaitu pengetahuan atau ilmu tentang asal-usul
dan tujuan segala apa yang di ciptakan-Nya.
Tahap-tahap menuju suluk di jalan Allah dengan menempuh jalan yang
di ridhoi Allah, demi kebahagiaan abadi baik di dunia dan di akhirat, telah
diajarkan dengan baik oleh Sunan Kalijaga dengan menekankan pentingnya ajaran
syari’at guna menggapai ajaran tarekat dan makrifat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar