Konon, Demak awal adalah
transisi hegemoni kekuasaan di Jawa pada akhir abad 15.Konon, senjata yang
banyak dipakai oleh masyarakat saat itu justru golok, pedang atau wedung. Untuk
pertahanan diri.
Kriminalitas yang tinggi pada masa tiga
perempat abad XV membuat masyarakat Jawa bagian Tengah dan Timur selalu membawa
senjata. Selain nyengkelit keris,
mereka rata-rata membawa jenis senjata yang lebih fungsional digunakan, seperti
golok, perang atau wedung. Merajalelanya begal, kecu dan rampok –
khususnya di jalur-jalur perniagaan utama – di Pantai Utara Jawa, disebabkan
oleh kontrol keamanan Kerajaan Majapahit yang menurun. Prabu Kertabhumi yang
lemah pemerintahannya, tak lagi mampu menjaga wilayah negerinya.
Ketika muncul kekuasaan baru di sebelah timur
Semarang, dan persis menghadap Selat Muria (di selatan Perbukitan Muria), yaitu
Demak Bintara pada tahun 1475, perlahan-lahan memang keamanan di wilayah
pesisir mulai bisa diatasi. Panembahan Jin Bun atau Jimbun yang
bergelar Sultan Alam Akbar al Fatah, perlahan tapi pasti mulai
mengembangkan kekuasannya. Bahkan Majapahit yang pernah perkasa, dihantamnya
pada tahun 1478. Meskipun istananya tidak dihancurkan, semua harta benda
Majapahit diangkut ke Demak – termasuk pusaka-pusaka berupa keris, tombak dan
tosan aji lainnya. Semua pusaka Majapahit masuk ke Gedong Pusaka Demak.
Karena itu, dalam jagad perkerisan ada
pendapat, bahwa keris-keris tangguh Demak sebenarnya warisan dan kelanjutan
dari Majapahit. Bahkan dikatakan tak ada hal baru dalam dhapur. Benarkah? Tentu
saja, ini ranahdebatable.Dunia
perkerisan adalah jagad yang selalu dinamis. Dinamis, karena selalu dipenuh
kejutan dan kontroversi. Satu pihak mengatakan, bahwa pada masa transisi itu
para empu keris dan pande besi sedang dikerahkan oleh pihak istana untuk
membangun persenjataan yang lebih modern, yaitu senjata yang berbasiskan mesiu
–seperti senapan dan meriam.
Ketika situasi keamanan kurang baik, sementara
keraton muda sedang menata sistem pemerintahannya, maka rakyat
mepersenjatai diri. Zaman itu, senjata yang populer adalah wedung – senjata
tebas yang mirip dengan golok cacah berujung runcing. Dalam bukunya The History of Java, Thomas Stamford
Raffles, Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada 1811-1816, menyebut, bahwa seseorang yang akan menghadap pangeran,
apapun pangkat dan gelarnya, harus mengenakan celana dari sutera atau kain
halus tanpa kancing dan sebagai pengganti kain atau jarit, dia harus memakai
dodot, yaitu kain lebar yang ……..Dia hanya membawa satu keris yang ditempatkan
di punggung kanan belakang, dimana pada sisi kirinya membawa WEDUNG….Dia
mengenakan kuluk yang mulai dieperkenalkan oleh Sultan Pajang.
Dari catatan tersebut jelas bisa ditarik
garis, bahwa pakaian pangeran Jawa pada masa Pajang – yang bisa dikatakan satu
masa dengan Demak, selalu melengkapi diri dengan wedung.
Yang menarik, saat ini ada sebuah kecamatan di
Kabupaten Demak, yang bernama Kecamatan Wedung. Kendati belum ada penelitian
sejarah menyangkut nama ini, tapi legenda tentang asal mula nama Wedung, saat
ini, masih hidup di masyarakat. Konon, pada zaman pembangunan Masjid
Demak, ketika 4 balok kayu besar yang diperlukan sedang dibawa melalui sebuah
sungai (melalui daerah Wedung itu), salah satu balok hanyut/hilang. Ketika
salah saorang prajurit Demak yang mengawal balok kayu itu akan mengambil
wedung, untuk memberbaiki getek (sampan
bambu), ternyata wedung itu hilang. Maka kemudian daerah itu dinamakan Wedung.
Kebenarannya? Karena legenda, masih bisa dipertanyakan lebih jauh. Tapi
Kecamatan Wedung nyata ada dan masih mengandung misteri tentang namanya.
Wedung memang senjata yang sangat populer di
Pantai Utara Jawa. Masyarakat sepanjang pantai utara dari Cirebon hingga
Gresik, ikut bergerak menjadi pengikut Sunan Giri ketika berperang melawan
tentara Prabu Girindrawardhana dari Majapahit. Mereka bersenjata pedang dan
menyelipkan wedung pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elite
pesisiran.
Dari senjata lapangan, wedung ternyata
lama-lama ‘naik kelas’, yaitu mulai dijadikan pelengkap baju kebesaran para
bangsawan Demak. Hanya saja bentuknya lebih kecil dan dibuat lebih laras, dan
pula menjadi mudah dibawa. Masyarakat keris menyebutnya sebagai pasikon. Zaman
Demak diperintah oleh Raja ke tiga, Sultan Trenggana, pasikon hanya boleh
digunakan oleh raja dan kerabat keraton saja.
Pendapat diatas, dari soal keamanan hingga
munculnya wedung, memang juga masih sebatas analisa. Belum menjadi kajian
sejarah yang ilmiah yang bisa dipercaya sepenuhnya. Sementara, ada pendapat
lain yang mengatakan, bahwa situasi keamanan di Jawa bagian Tengah dan Timur
sebenarnya bukan dalam kondisi menegangkan, atau siaga perang. Ini,
karena Raden Patah adalah putra Prabu Kertabhumi (dalam Babad Tanah Jawi disebut Prabu
Brawijaya) dan resmi sebagai Adipati Demak.
Jadi menurut mereka, pembuatan keris bahkan
terus berlangsung. Besalen-besalen di era Majapahit terus berproduksi.
Buktinya, saat ini, selain masih banyak keris-keris tangguh Demak ditemukan,
ada catatan bahwa salah seorang empu keris dari Majapahit, yang diperkirakan
hidup pada masa Prabu Kertabhumi (1474-1478), bernama Ki Jaka Sura ikut
berkarya di Demak – setelah raja Majapahit itu dikalahkan oleh Demak pada
tahun 1478.
Empu Jaka Sura disebut dalam buku The History of Java karya Thomas
Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa pada 1811-1816. Pada
Bab XI buku itu disebutkan bahwa pada saat pengangkatan Pangeran Trenggana
sebagai raja Demak ke tiga pada tahun 1521, bersamaan waktunya dengan
pengangangkatan Sunan Kudus sebagai Imam Besar Masjid Demak. Dalam upacara itu,
Panembahan Makdum Jati dari Cirebon mempersembahkan sebilah keris masig-masing
kepada Sultan Trenggana dan Sunan Kudus. Raffles juga menyebut, bahwa dua bilah
keris (dan sebuah badi-badi,
mungkin badik )
itu dibuat oleh pande besi yang sangat terkenal bernama Sura. Bahan pusaka itu
adalah sebuah tongkat besi yang banyak membuat keajaiban ketika terjadi
pertempuran antara tentara Demak dan Majapahit. Sura, yang disebut Raffles,
kemungkinan besar adalah Empu Jaka Sura. Karena jelas disebut sebagai pande
besi yang sangat terkenal.
Jadi pendapat bahwa keris-keris era Demak tak
jauh berbeda dengan keris-keris zaman sebelumnya yaitu Majapahit bisa jadi juga
benar, karena selain para empunya adalah empu pindahan dari Majapahit,
para bangsawan Demak kebanyakan juga keturunan elit Majapahit. Mungkin secara
perlahan berubah, karena karakkter Islam mulai mewarnai budaya. Bahkan
khabarnya, keris-keris berinskripsi dimulai pada zaman Demak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar