Selasa, 03 April 2018

Mengunjungi Makam Wali Allah, Sultan Suriansyah

Makam Sultan Suriansyah  
Sultan Suriansyah, berasal dari keturunan raja-raja Kerajaan Negara Daha. Ia merupakan Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan sejak beliaulah agama Islam berkembang resmi dan pesat di Kalimantan Selatan. Untuk pelaksanaan dan penyiaran agama Islam beliau membangun sebuah masjid yang dikenal sebagai Masjid Sultan Suriansyah yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. 
Makam Sultan Suriansyah terletak di Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin. Sultan Suriansyah merupakan raja Kerajaan Banjar pertama yang memeluk agama Islam.

Sewaktu kecil namanya adalah Raden Samudera, setelah diangkat menjadi raja namanya menjadi Pangeran Samudera dan setelah memeluk Islam namanya menjadi Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.

Menurut sarjana Belanda J.C. Noorlander bahwa berdasarkan nisan makam, maka umur kuburan dapat dihitung sejak lebih kurang tahun 1550, berarti Sultan Suriansyah meninggal pada tahun 1550, sehingga itu dianggap sebagai masa akhir pemerintahannya. Ia bergelar Susuhunan Batu Habang. Menurut M. Idwar Saleh bahwa masa pemerintahan Sultan Suriansyah berlangsung sekitar tahun 1526-1550. Sehubungan dengan hal ini juga dapat menetapkan bahwa hari jadi kota Banjarmasin jatuh pada tanggal 24 September 1526.

Ratu Intan Sari atau Puteri Galuh adalah ibu kandung Sultan Suriansyah. Ketika itu Raden Samudera baru berumur 7 tahun dengan tiada diketahui ayahnya Raden Manteri Jaya menghilang, maka tinggallah Raden Samudera bersama ibunya. Pada masa itu Maharaja Sukarama, raja Negara Daha berwasiat agar Raden Samudera sebagai penggantinya ketika ia mangkat.

Tatkala itu pula Raden Samudera menjadi terancam keselamatannya, berhubung kedua pamannya tidak mau menerima wasiat, yaitu Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung, karena kedua orang ini sebenarnya kemenakan Sukarama. Ratu Intan Sari khawatir, lalu Raden Samudera dilarikan ke Banjar Masih dan akhirnya dipelihara oleh Patih Masih dan Patih Kuin.

Setelah sekitar 14 tahun kemudian mereka mengangkatnya menjadi raja (berdirinya kerajaan Banjar masih/Banjarmasin). Ratu Intan Sari meninggal pada awal abad ke-16.
Sultan Rahmatullah, putera Sultan Suriansyah, beliau raja Banjar ke-2 yang bergelar
Susuhunan Batu Putih. Masa pemerintahannya tahun 1550-1570.

Sultan Hidayatullah, raja Banjar ke-3, cucu Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan Batu Irang. Masa pemerintahannya tahun 1570-1595. Ia senang memperdalam syiar agama Islam. Pembangunan masjid dan langgar (surau) telah banyak didirikan dan berkembang pesat hingga ke pelosok perkampungan.

Pada tahun 1521 datanglah seorang tokoh ulama besar dari Kerajaan Demak bernama Khatib Dayan ke Banjar Masih untuk mengislamkan Raden Samudera beserta sejumlah kerabat istana, sesuai dengan janji semasa pertentangan antara Kerajaan Negara Daha dengan Kerajaan Banjar Masih.

Khatib Dayan merupakan keturunan Sunan  Gunung Jati dari Cirebon, Jawa Barat. Ia menyampaikan syiar-syiar Islam dengan kitab pegangan Surat Layang Kalimah Sada di dalam bahasa Jawa. Ia seorang ulama dan pahlawan yang telah mengembangkan dan menyebarkan agama Islam di Kerajaan Banjar sampai akhir hayatnya.

Patih Kuin adalah adik kandung Patih Masih. Ia memimpin di daerah Kuin. Ketika itu ia telah menemukan Raden Samudera dan memeliharanya sebagai anak angkat. Pada masa beliau keadaan negerinya aman dan makmur serta hubungan dengan Jawa sangat akrab dan baik. Ia meninggal pada awal abad ke-16.

Patih Masih adalah seorang pemimpin orang-orang Melayu yang sangat bijaksana, berani dan sakti. Ia memimpin di daerah Banjar Masih secara turun temurun. Ia keturunan Patih Simbar Laut yang menjabat Sang Panimba Segara, salah satu anggota Manteri Ampat. Ia meninggal sekitar awal abad ke-16.

Senopati Antakusuma adalah cucu Sultan Suriansyah. Ia seorang panglima perang di Kerajaan Banjar dan sangat pemberani yang diberi gelar Hulubalang Kerajaan. Ia meninggal pada awal abad ke-16.

Syekh Abdul Malik atau Haji Batu merupakan seorang ulama besar di Kerajaan Banjar pada masa pemerintahan Sultan Rahmatullah. Ia meninggal pada tahun 1640.

Haji Sa'anah berasal dari keturunan Kerajaan Brunei Darussalam. Ia menikah dengan Datu Buna cucu Kiai Marta Sura, seorang menteri di Kerajaan Banjar. Semasa hidupnya Wan Sa'anah senang mengaji Al-Qur'an dan mengajarkan tentang keislaman seperti ilmu tauhid dan sebagainya. Ia meninggal pada tahun 1825.


Pangeran Ahmad merupakan seorang senopati Kerajaan Banjar di masa Sultan Rahmatullah, yang diberi tugas sebagai punggawa atau pengatur hulubalang jaga. Ia sangat disayangi raja dan dipercaya. Ia meninggal pada tahun 1630.

Pangeran Muhammad, adalah adik kandung Pangeran
Ahmad, juga sebagai senopati Keraton di masa Sultan Hidayatullah I. Ia meninggal pada tahun 1645.

Sayyid Ahmad Iderus, adalah seorang ulama dari Mekkah yang datang ke Kerajaan Banjar bersama-sama Haji Batu (Syekh Abdul Malik). Ia menyampaikan syiar-syiar agama Islam dan berdakwah di tiap-tiap masjid dan langgar (surau). Ia meninggal pada tahun 1681.

Gusti Muhammad Arsyad putera dari Pangeran Muhammad Said. Ia meneruskan perjuangan kakeknya Pangeran Pangeran Antasari melawan penjajah Belanda. Ia kena tipu Belanda, hingga diasingkan ke Cianjur beserta anak buahnya, setelah meletus perang dunia, ia dipulangkan ke Banjarmasin. Ia meninggal pada thaun 1938.

Kiai Datu Bukasim merupakan seorang menteri di Kerajaan Banjar. Ia keturunan Kiai Marta Sura, yang menjabat Sang Panimba Segara (salah satu jabatan menteri). Ia meninggal pada tahun 1681.

Anak Tionghoa Muslim. Pada permulaan abad ke-18, seorang Tionghoa datang berdagang ke Banjarmasin. Ia berdiam di Kuin Cerucuk dan masuk Islam sebagai muallaf. Tatkala itu anaknya bermain-main di tepi sungai, hingga jatuh terbawa arus sampai ke Ujung Panti. Atas mufakat tetua di daerah Kuin, mayat anak itu dimakamkan di dalam komplek makam Sultan Suriansyah. 


Senin, 26 Maret 2018

Azas Dakwah Walisongo dan Wasiat Sunan Kalijaga

“Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal – enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gusti Allah”

Artinya kurang lebih :
“jika sudah tiba zamannya dimana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak orang yg berilmu yg tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya (pasar orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tak ada adzan, wanita-wanita hilang malunya (tidak menututup aurat dsb) maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa (dari kampong ke kampong) dari pintu ke pintu (dari rumah ke rumah utk dakwah) jagnlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah swt”


Kalau kita buat dakwah berpegang dengan azas dakwah ini maka dakwah kita akan mirip dengan dakwah nabi dan sahabat shg akan menjadi asbab hidayah keseluruh alam

Azas dakwah walisongo ada 10 :
Sugih tanpa banda (kaya tanpa hanya)
Artinya : jangan yakin pada harta….kebagahiaan dalam agama, dakwah jagan bergantung degan harta

Ngluruk tanpa bala (menyerbu tanpa banyak orang/tentara)
Artinya : jangan yakin dengan banyaknya jumlah kita,…..yakin dengan pertolongan Allah

Menang tanpa ngasorake (menang/unggul tanpa merendahkan orang)
Artinya : dakwah jangan menganggap hina musuh-musuh kita….kita pasti unggul tapi janganmerendahkan orang lain (jangan sombong)

Mulya tanpa punggawa (mulia tanpa anak buah)
Artinya : kemuliaan hanya dalam iman dan amalan agama bukan degan bnyaknya pengikut

Mletik tanpa sutang (melompat jauh tanpa tanpa galah/tongkat panjang)
Artinya : niat utk dakwah keseluruh alam, Allah yang berangkatkan kita bukan asbab duniaseperti harta dsb

Mabur tanpa lar (terbang tanpa sayap)
Artinya : kita bergerak jumpa umat…dari orang-orang ke orang…. jumpa ke rumah-rumahmereka 

Digdaya tanpa aji-aji (sakti tanpa ilmu2 kedigdayaan)
Artinya : kita dakwah, Allah akan Bantu (jika kalian Bantu agama Allah, maka pasti Allah akan tolong kalian dan Allah akan menangkan kalian)

Menang tanpa tanding (menang tanpa berperang)
Artinya : dakwah dengan hikmah, kata-kata yg sopan, ahlaq yg mulia dan doa menangislahpada Allah agar umat yg kita jumpai dan umat seluruh alam mendadapatkan hidayah….bukandengan kekerasan….

Nabi saw bersabda yg maknanya kurang lebih : ‘Haram memerangi suatu kaum sebelum kalian berdakwah (berdakwah dengan hikmah) kepada mereka”

Kuncara tanpa wara-wara (menyebar/terkenal tanpa gembar-gembor/iklan2 dsb)
Artinya : bergerak terus jumpa umat, tidak perlu disiar-siarkan atau di umum-umumkan

Kalimasada senjatane ( senjatanya kalimat iman 
adalah (syahadat)
Artinya : selalu mendakwahkan kalimat iman, mengajak umat pada iman dan amal salih….


Menelisik Jejak Keris dan Wedung Demak

Konon, Demak awal adalah transisi hegemoni kekuasaan di Jawa pada akhir abad 15.Konon, senjata yang banyak dipakai oleh masyarakat saat itu justru golok, pedang atau wedung. Untuk pertahanan diri.
Kriminalitas yang tinggi pada masa tiga perempat abad XV membuat masyarakat Jawa bagian Tengah dan Timur selalu membawa senjata. Selain nyengkelit keris, mereka rata-rata membawa jenis senjata yang lebih fungsional digunakan, seperti golok, perang atau wedung.  Merajalelanya begal, kecu dan rampok – khususnya di jalur-jalur perniagaan utama – di Pantai Utara Jawa, disebabkan oleh kontrol keamanan Kerajaan Majapahit yang menurun. Prabu Kertabhumi yang lemah pemerintahannya, tak lagi mampu menjaga wilayah negerinya.
Ketika muncul kekuasaan baru di sebelah timur Semarang, dan persis menghadap Selat Muria (di selatan Perbukitan Muria), yaitu Demak Bintara pada tahun 1475, perlahan-lahan memang keamanan di wilayah pesisir mulai bisa diatasi.  Panembahan Jin Bun  atau Jimbun yang bergelar Sultan Alam Akbar al Fatah,  perlahan tapi pasti mulai mengembangkan kekuasannya. Bahkan Majapahit yang pernah perkasa, dihantamnya pada tahun 1478. Meskipun istananya tidak dihancurkan, semua harta benda Majapahit diangkut ke Demak – termasuk pusaka-pusaka berupa keris, tombak dan tosan aji lainnya. Semua pusaka Majapahit masuk ke Gedong Pusaka Demak.
Karena itu, dalam jagad perkerisan ada pendapat, bahwa keris-keris tangguh Demak sebenarnya warisan dan kelanjutan dari Majapahit. Bahkan dikatakan tak ada hal baru dalam dhapur. Benarkah? Tentu saja, ini ranahdebatable.Dunia perkerisan adalah jagad yang selalu dinamis. Dinamis, karena selalu dipenuh kejutan dan kontroversi. Satu pihak mengatakan, bahwa pada masa transisi itu para empu keris dan pande besi sedang dikerahkan oleh pihak istana untuk membangun persenjataan yang lebih modern, yaitu senjata yang berbasiskan mesiu –seperti senapan dan meriam.
Ketika situasi keamanan kurang baik, sementara keraton muda sedang menata sistem pemerintahannya,  maka rakyat mepersenjatai diri. Zaman itu, senjata yang populer adalah wedung – senjata tebas yang mirip dengan golok cacah berujung runcing. Dalam bukunya The History of Java, Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada 1811-1816, menyebut, bahwa seseorang yang akan menghadap pangeran, apapun pangkat dan gelarnya, harus mengenakan celana dari sutera atau kain halus tanpa kancing dan sebagai pengganti kain atau jarit, dia harus memakai dodot, yaitu kain lebar yang ……..Dia hanya membawa satu keris yang ditempatkan di punggung kanan belakang, dimana pada sisi kirinya membawa WEDUNG….Dia mengenakan kuluk yang mulai dieperkenalkan oleh Sultan Pajang.
Dari catatan tersebut jelas bisa ditarik garis, bahwa pakaian pangeran Jawa pada masa Pajang – yang bisa dikatakan satu masa dengan Demak, selalu melengkapi diri dengan wedung.
Yang menarik, saat ini ada sebuah kecamatan di Kabupaten Demak, yang bernama Kecamatan Wedung. Kendati belum ada penelitian sejarah menyangkut nama ini, tapi legenda tentang asal mula nama Wedung, saat ini,  masih hidup di masyarakat. Konon, pada zaman pembangunan Masjid Demak, ketika 4 balok kayu besar yang diperlukan sedang dibawa melalui sebuah sungai (melalui daerah Wedung itu), salah satu balok hanyut/hilang. Ketika salah saorang prajurit Demak yang mengawal balok kayu itu akan mengambil wedung, untuk memberbaiki getek (sampan bambu), ternyata wedung itu hilang. Maka kemudian daerah itu dinamakan Wedung. Kebenarannya? Karena legenda, masih bisa dipertanyakan lebih jauh. Tapi Kecamatan Wedung nyata ada dan masih mengandung misteri tentang namanya.
Wedung memang senjata yang sangat populer di Pantai Utara Jawa.  Masyarakat sepanjang pantai utara dari Cirebon hingga Gresik, ikut bergerak menjadi pengikut Sunan Giri ketika berperang melawan tentara Prabu Girindrawardhana dari Majapahit. Mereka bersenjata pedang dan menyelipkan wedung pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elite pesisiran.
Dari senjata lapangan, wedung ternyata lama-lama ‘naik kelas’, yaitu mulai dijadikan pelengkap baju kebesaran para bangsawan Demak. Hanya saja bentuknya lebih kecil dan dibuat lebih laras, dan pula menjadi mudah dibawa. Masyarakat keris menyebutnya sebagai pasikon. Zaman Demak diperintah oleh Raja ke tiga, Sultan Trenggana, pasikon hanya boleh digunakan oleh raja dan kerabat keraton saja. 
Pendapat diatas, dari soal keamanan hingga munculnya wedung, memang juga masih sebatas analisa. Belum menjadi kajian sejarah yang ilmiah yang bisa dipercaya sepenuhnya. Sementara, ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa situasi keamanan di Jawa bagian Tengah dan Timur sebenarnya bukan dalam kondisi menegangkan,  atau siaga perang. Ini, karena Raden Patah adalah putra Prabu Kertabhumi (dalam Babad Tanah Jawi disebut Prabu Brawijaya) dan resmi sebagai Adipati Demak.
Jadi menurut mereka, pembuatan keris bahkan terus berlangsung. Besalen-besalen di era Majapahit terus berproduksi.  Buktinya, saat ini, selain masih banyak keris-keris tangguh Demak ditemukan, ada catatan bahwa salah seorang empu keris dari Majapahit, yang diperkirakan hidup pada masa Prabu Kertabhumi (1474-1478), bernama Ki Jaka Sura ikut berkarya di Demak –  setelah raja Majapahit itu dikalahkan oleh Demak pada tahun 1478.
Empu Jaka Sura disebut dalam buku The History of Java karya Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa pada 1811-1816. Pada Bab XI buku itu disebutkan bahwa pada saat pengangkatan Pangeran Trenggana sebagai raja Demak ke tiga pada tahun 1521, bersamaan waktunya dengan pengangangkatan Sunan Kudus sebagai Imam Besar Masjid Demak. Dalam upacara itu, Panembahan Makdum Jati dari Cirebon mempersembahkan sebilah keris masig-masing kepada Sultan Trenggana dan Sunan Kudus. Raffles juga menyebut, bahwa dua bilah keris (dan sebuah badi-badi, mungkin badik ) itu dibuat oleh pande besi yang sangat terkenal bernama Sura. Bahan pusaka itu adalah sebuah tongkat besi yang banyak membuat keajaiban ketika terjadi pertempuran antara tentara Demak dan Majapahit. Sura, yang disebut Raffles, kemungkinan besar adalah Empu Jaka Sura. Karena jelas disebut sebagai pande besi yang sangat terkenal.
Jadi pendapat bahwa keris-keris era Demak tak jauh berbeda dengan keris-keris zaman sebelumnya yaitu Majapahit bisa jadi juga benar, karena selain para empunya adalah  empu pindahan dari Majapahit, para bangsawan Demak kebanyakan juga keturunan elit Majapahit. Mungkin secara perlahan berubah, karena karakkter  Islam mulai mewarnai budaya. Bahkan khabarnya, keris-keris berinskripsi dimulai pada zaman Demak.


Senin, 11 Desember 2017

Mengkaji Rahasia Ilmu Laduni

Rahasia ahli kitab yang mampu memindahkah kursi Ratu Bilqis sebagaimana di kisahkan Al qur an hingga kini masih merupakan misteri. Menimbulkan tanda tanya besar dan spekulasi tersendiri bagi kalangan umat Islam. Apakah ilmu tersebut hanya dongengan saja ?. Ataukah ilmu tersebut masih bertahan hingga kini.

Al qur an pasti tidak mungkin memberitakan , jikalau hanya sekedar sebuah dongengan pengantar tidur saja. Pasti ada rahasia yang sangat besar di balik pengungkapan berita tersebut.
Apapun yang diberitakan Al qur an adalah sebuah kepastian, hukum sunatulloh, yang berlaku dari dahulu, kini, hingga nanti. Meliputi seluruh peradaban manusia dan alam semesta. Jadi logikanya ilmu tersebut pasti masih ada dalam kesadaran umat manusia hingga kini.

Dan sebenarnya rahasia apa (hikmah) yang diajarkan Allah kepada orang tersebut. Apakah yang di maksud dengan hikmah dari kitab-kitab-Nya ? Sehingga (ketika) seseorang telah mampu memahami hikmah dari kitab-kitab-Nya, orang tersebut akan memiliki kemampuan luar biasa

Banyak sekali kajian yang mencoba mengungkapkannya, dengan segala wahana yang di tawarkan. Kajian ini mencoba memberikan pembanding bagi kajian-kajian lainnya. Memberikan alternatif pemikiran. Bagaimana seharusnya kita menyikapi berita (kisah) Al qur an tersebut ?

Banyak sudah kajian yang membahas perihal Ilmu Laduni ini. Ada sebagian orang yang menghubungkan ilmu ini dengan kekuatan ghaib, karomah, kesaktian dan lain sebagainya. Ada lagi yang percaya bahwa orang yang memiliki ilmu ini akan memiliki kemampuan membuka berita-berita ghaib.

Sehingga orang yang memiliki ilmu ini akan mampu meramalkan kejadian yang bakalan terjadi, sebagaimana yang di isyaratkan dalam hikayat nabi Khidir. Karenanya, orang kemudian percaya dan meyakini bahwa ilmu ini hanyalah milik para nabi dan para wali saja.

Ilmu Laduni telah di persepsikan, dikontruksikan sedemikian rupa, berkaitan dengan karomah dan lainnya, sehingga jika kemudian ada orang yang mengaku memiliki kemampuan mendekati persepsi ini, maka orang tersebut akan di puja-puja bagai orang sakti, sebagaimana orang yang dianggap setingkat para wali.
Begitu terpesonanya manusia melihat kehebatan yang dipertunjukannya. Sehingga mereka lupa bahwa bukan itu hakekat Ilmu Laduni. Kehebatan Ilmu Laduni yang disangkakan akhirnya menjadi tujuan para pemuja ilmu.

Sebuah ironi atas ilmu, jika ada permintaan maka ada penawaran begitulah hukumnya. Ketika orang tergila-gila dengan ilmu tersebut, maka ada sebagian orang lainnya yang melakukan klaim bahwa dirinya telah memiliki ilmu yang dimaksud. Seperti semut bertemu gula, begitulah keadaannya. Pemilik ilmu kemudian dikerumuni, di puja di perlakukan bak raja, titahnya adalah titah sang pendito ratu.

Maka bermuncullah orang-orang yang mengaku aku telah memiliki ilmu Laduni dan bahkan katanya mampu mengajarkan ilmu tersebut. Munculah fenomena para dukun yang berkolaborasi dengan para jin, mengaku memiliki ilmu Laduni, biar semakin laris dagangan mereka karena dianggap wali atau orang tua sakti.

Ilmu Laduni biasa juga di sebut dengan Ilmu Hikmah adalah Ilmu Hati. Pada awalnya, Ilmu ini lebih banyak membicarakan perihal penyingkapan hati, teori tentang Dzauk (rahsa) dan Kasyaf. Jika hati sudah bening maka jiwa diharapkan akan mampu membaca dan menangkap kehendak-kehendak Allah. Bahkan sampai kepada membaca Lauh Mahfudz.

Dalam dimensi inilah kemudian orang sering menyalah gunakan pemahaman atas ilmu ini. Orang-orang yang tergila-gila ilmu ini, mengklaim dirinya telah melihat Lauh Mahfud.
Dia meng klaim telah membaca apa yang tersurat ataupun tersirat, mampu menguraikan hikmah kata perkata bahkan setiap huruf dari Al qur an. Mampu menguraikan hikmah tiap surah dan ayat yang berhubungan dengan kekayaan, kesaktian, kekuatan dan lain-lainnya.

Setiap surah kemudian di urai menjadi obat bagi siapa saja yang sakit dan membutuhkan bantuan. Pendek kata ayat-ayat Al qur an dan setiap hurufnya dijadikan komediti yang dapat di jual belikan sesuai dengan kebutuhan manusianya. Sungguh hal yang menimbulkan bahaya tersendiri bagi bagi orang yang tidak lurus hatinya.

Rosululloh mengingatkan kepada kita agar berhati-hati terhadap orang yang mengaku-aku memiliki Ilmu Hikmah (Laduni). Berkata Aisyah ra bahwa Rosululloh setelah membaca Surah Ali Imron ayat 7;
“Jika kamu melihat orang-orang bermujahadah tentang itu (mencari takwil perihal ayat-ayat mustasyabihat) maka itulah orang-orang yang dimaksud Allah, (orang yang akan menimbulkan fitnah) maka jauhilah mereka” (Riwayat Imam Ahmad). Riwayat ini di kuatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ibn Jarir.

Banyak sekali ayat yang tidak seharusnya di takwilkan, dan memang akan sulit di takwilkan. Sebab banyak dimensinya, salah satunya adalah berada dalam dimensi rahsa, misal kata cinta, kasih sayang, ikhsan, takwa, syukur, iman, dan lain-lainnya. Kata tersebut hanya akan mampu dipahami jika kita sudah berada dalam keadaan hal yaitu suasananya.

Maka jika seseorang ingin mengetahui bagaimanakah keadaan rahsa cinta kepada Allah misalnya, maka orang tersebut harus memasuki dimensi rahsa. Jika hanya diuraikan melalui akal dan logika, melalui perbendaharaan kata-kata manusia, maka kita tidak akan mampu mendapatkan keadaan hal (suasana) sebagaimana yang dimaksud oleh kata cinta itu sendiri.

Semisal buah jeruk, kita tidak akan mampu mendapatkan referensi utuh perihal jeruk, jika kita tidak mendapatkan realitas buah itu sendiri. Jika kita sudah menemukan realitas jeruk maka karenanya, kita pun dengan sendirinya, menjadi mampu berada dalam suasana, keadaan, kondisi, hal siap menerima makna hakekat jeruk selanjutnya yang masuk kedalam kesadaran kita, karena kita sudah memiliki referensinya (realitasnya).

Jika kita masuk kedalam realitas dimensi keadaan hal (suasana) hakekat sebagaimana keadaan jeruk itu sendiri, secara bulat, baik dalam realitasnya maupun dalam dimensi rahsanya, dan oleh karenanya kita kemudian memiliki pengetahuan tentang hal ikhwal perihal buah jeruk tersebut dengan benar dan utuh.

Sehingga kita mampu menjadi yakin yakinnya, tanpa ada ruang yang menyisakan keraguan sedikitpun di dalam dada kita, maka oleh sebab karena keyakinan ini, jikalau ada pembantah meskipun sang pembantah mampu membalikan gunung sekalipun, keyakinannya akan tetap tidak akan tergoyahkan. Dia akan tetap pada pendiriannya bahwa hakekat jeruk yang benar adalah yang sebagaimana realitas dalam kesadarannya itu.

Maka (ketika) kita berada dalam pengamatan ini, dalam suasana kondisi seperti ini maka secara tidak langsung, kita tengah berada di dalam bagian dari Ilmu Laduni itu sendiri.  


Mengenal Ajaran Tasawuf Sunan Kalijaga

Kanjeng Sunan Kalijaga seorang tokoh wali songo, beliau mempunyai peranan yang amat penting dalam penyebaran agama islam di jawa. Peran yang paling nyata adalah melanjutkan pengislaman tanah jawa dan memperkuat landasan islami di kalangan masyarakat.

Kokohnya budaya dan adat-istiadat orang jawa yang berakar kepada nilai-nilai islam  itulah barangkali karya sunan kalijaga yang paling penting dalam perkembangan islam di Indonesia khususnya di jawa. Berikut ini adalah Ajaran Tasawuf Sunan Kalijaga.

1. Pengamalan Syariat
Syariat tidak harus dipahami secara literal dan tidak juga harus dimengerti secara harfiah.Kita harus bisa memahami makna yang ada di balik yang tampak, kemudian diamalkan untuk kehidupan nyata.
Tidak seluruh bentuk syariat yang menjadi perhatian sunan kalijaga. Beberapa hal yang menjadi kunci amalan dalam agama islam, seperti sholat dan haji, yang menjadi perhatiannya. Kedua ibadah ini dilaksanakan secara demonstratif oleh umat islam.

a) Ibadah Sholat
Keunggulan seseorang itu terletak pada pemahaman dan penghayatan dari kesejatian sholat, penyembahan dan pujian, bukan pada sholat lima waktu. Oleh sunan bonang, mengerjakan sholat lima kali sehari disebut sembahyang, sifatnya hanyalah tata karma dalam pergaulan umat islam dan hakikat mengerjakannya hanyalah hiasan bagi sholat daim.
Sholat daim disebut sebagai kebaktian yang unggul, karena semua tingkah laku merupakan wujud dari sembahyang. Jadi, sholat daim adalah sholat sepanjang hayat, tidak pernah terputus dalam keadaan apa pun dan di mana pun. Diam atau bicara, istirahat atau bekerja, tidur maupun bangun, senantiasa sholat.Semua gerak tubuh ini merupakan sembahyang.

Bukan hanya wudhu, bahkan tatkala bertinja dan kencing pun dalam keadaan sholat. Dalil dari sholat daim itu sendiri terdapat di dalam Al-qur’an, mengingat hakikat sholat dalam Al-qur’an ditujukan untuk berzikir kepada Allah dan mencegah perbuatan keji dan mungkar.

b) Ibadah Haji
Rukun islam dalam bentuk puasa dan zakat tidak mendapat porsi utama dalam ajaran islam yang diamalkan sunan kalijaga. Puasa dan zakat bukan hal yang istimewa bagi masyarakat nusantara termasuk jawa pada waktu itu. Puasa dan zakat merupakan sikap hidup sebagian besar masyarakat nusantara. Maka dari itu, ibadah haji dipandang sebagai masuknya tata cara yang baru dalam hidup beragama.

Sunan kalijaga menggambarkan bahwa ibadah haji itu buka pergi secara fisik ke kota mekah yang ada di jazirah arab. Tidak ada yang tahu letak mekah sejati, karena ada di dalam diri. Menempuhnya harus sabar dan rela hidup di dunia tanpa terjebak keduniaan.Inilah yang disebut dengan haji.Sabar dan ikhlas dalam meniti kebenaran.

Sabar berarti tahan uji dalam menempuh kehidupan ini. Terus bertekad menempuh jalan yang benar meski godaan dan rintangan menghadang.orang yang sabar tak akan berhenti di tengah jalan dalam mencapai tujuannya. Sedangkan ikhlas atau rela adalah kesanggupan untuk hidup tak terkontaminasi atau tercemari kotoran dunia.

Tak ikut-ikutan berebut takhta, harta, dan dunia.Semua ini dikatakan sebagai haji karena tujuan haji adalah untuk menjadikan manusia sempurna, insan kamil.
Jika kesalehan dalam hidup ini sudah menjadi bagian pelaksanaan syariat agama, selanjutnya kita tinggal meningkatkan keimanan dan ketakwaan hidup ini.Meningkatkan keikhlasan dan semangat hidup yang benar.Tanpa wujud nyata dalam hidup ini maka syariat hanyalah formalitas belaka.

2. Tarekat Sunan
Sunan kalijaga adalah seorang mistikus. Dia mistikus islam sekaligus mistikus jawa. Tentu saja dia seorang sufi dan pengamal tarekat. Berdasarkan saresahan wali, yang menjadi sumber pelajaran keimanan dan makrifat adalah kitab ihya’ ulum ad-din karya Imam al-Ghazali. Tentunya tarekat yang dianutnya adalah ghazaliyyah.

Tetapi, jika dilacak dari berbagai tembang yang ditulisnya, atau serat suluk tentang dirinya, jelas amat sulit menggolongkan sunan ke dalam tarekat tertentu.Tampaknya sunan meramu ajaran tarekat yang berasal dari luar dengan praktik mistik jawa.

a) Meditasi dan kontemplasi
Meditasi atau semedi merupakan salah satu cara dalam tarekatnya sunan kalijaga. Meditasi atau semedi dapat disamakan dengan zikir. Melakukan meditasi tidak sama dengan olahraga pernapasan. Kalau olahraga yang diperhatikan hanyalah badan jasmani saja, tetapi dalam meditasi ada daya upaya, usaha, untuk meningkatkan kesempurnaan spiritual.

Pertama, bagi yang hendak melakukan semedi harus melakukan sesaji ing sagara, yaitu mengutamakan peranan kalbu.Sagara atau lautan dalam pandangan jawa merupakan lambang bagi hati atau kalbu. Harus bisa mengendalikan hati sehingga pengembaraan perasaan, pikiran dan permana menjadi satu.

Kedua, semedi merupakan cara untuk membersihkan diri dari program lama yang masih melekat pada pita kaset hidup ini. Ketiga, bila zikir yang dilakukan telah sempurna benar-benar, yakni angan-angan, pikiran dan ilusi telah lenyap, maka batin sang pezikir selamat sentosa. Dia terbebas dari segala gangguan batin.

b) Kesalehan dalam hidup
Dalam bahasa agama, amar makruf (menyeru kematian) merupakan wujud kesalehan dalam hidup. Baik itu kesalehan pribadi maupun social.Amar makruf merupakan perintah untuk berbuat dan bertindak kebajikan. Yaitu, perbuatan baik yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sesuatu yang makruf itu merupakan wujud dari kearifan local. Artinya, apa yang ma’ruf di jazirah Arabia, belum tentu ma’ruf di jawa.

Dalam kemakrufan local dikenal apa yang namanya Pancasetya, yaitu setya budaya, setya wacana, setya semaya, setya laksana, dan setya mitra.
·         Pertama, setya budaya. Dengan budayanya, manusia mencoba mengatasi alam lingkungan hidupnya untuk kesejahteraan hidupnya.
·         Kedua, setya wacana. Memegang teguh ucapannya.Apa yang diperbuat sesuai dengan yang dikatakan.
·         Ketiga, setya semaya. Dalam kehidupan ini kita harus senantiasa menepati janji.Janji merupakan ucapan kesediaan atau kesanggupan untuk memberikan sesuatu.
·         Keempat, setya laksana. Yaitu bertanggung jawab atas tugas yang dipikulnya.
·         Kelima, setya mitra. Artinya, yang dibangun dalam kehidupan ini adalah persahabatan dan kesetiakawanan. Dalam bahasa kehidupan modern yang kita bangun dalam kehidupan social adalah partnership atau kemitraan.
Tarekat sunan kalijaga yang intinya mengamalkan zikir dan meditasi dalam kehidupan sehari-hari, merupakan cara untuk mencapai kesadaran hidup. Bentuk dari kesadaran itu adalah amar makruf nahi mungkar dengan basis budaya jawa.

Islam yang dibawakan sunan kalijaga benar-benar menjadi rahmat bagi sekalian alam. Islam dibawakan dengan gaya tarekatnya sendiri, yaitu tarekat ala jawa.

3. Memahami Hakikat
Tahap terakhir dalam perjalanan penyempurnaan diri adalah makrifat. Sebelum mencapai tahap itu, maka kita harus memahami hakikat karena makrifat merupakan buah dari hakikat.Langkah pertama dalam tahap hakikat adalah mengenal diri.

Karena dengan mengenal dirinya itulah dia akan mengenal Tuhannya. Ada empat ketakjuban yang harus dipahami dalam tahap hakikat. Yaitu, ketakjuban pada syahadat, takbir, menghadap kepada Tuhan, dan sakaratul maut.

a) Ketakjuban terhadap Syahadat
Syahadat sebenarnya kesaksian. Dengan demikian, orang yang bersyahadat berarti orang yang bersaksi. Jelas sekali bahwa syahadat bukan mengucapkan dua kalimat syahadat belaka, melainkan ada kesadaran yang hadir ketika kalimat itu diucapkan. Jadi, bersyahadat bukan formalitas ucapan tentang kesaksian saja.

b) Ketakjuban terhadap Takbir
Selama ini takbir hanya dimaknai sebagai ucapan Allahu Akbar. Sebenarnya kekaguman pada takbir itu adalah pengucapan yang lahir dari firman Allah untuk memuji dzat-Nya, keagungan-Nya, kekaguman yang timbul di dalam hati yang menerima belas kasih-Nya.Jadi, takbir yang sebenarnya itu hasil dari penghayatan diri terhadap sifat Allah.

c) Ketakjuban saat menghadap Allah
Ada perbedaan diantara manusia dan Allah.Allah adalah sumber kebahagiaan, sumber kedamaian dan sumber keselamatan. Meskipun demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa menangkap kebahagiaan itu. Hakikat rasa adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan kehadiran Tuhan.

d) Ketakjuban saat Sakaratul Maut
Sakaratul maut harus dijemput secara mapan. Mantap dan tidak goyah dalam menghadapinya. Dalam keadaan sakaratul maut, teroris dan penggembira mungkin datang silih berganti. Mungkin semua itu menjadi tak berarti bagi yang terlatih meditasi. Bagi yang biasa zikir, kesadaran itu bagian dari hidupnya. Meditasi atau zikir adalah cara untuk melatih diri untuk bias menolong dirinya dalam menghadap Tuhan.

4. Ma’rifat Kepada Allah
Makrifat adalah hadirnya kebenaran Allah pada seorang Sufi dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan “Nur Ilahi”. Makrifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan dalam akal pikiran.
Jika meningkat makrifatnya, maka meningkat pula ketenangan hatinya. Akan tetapi tidak semua sufi dapat mencapai pada tingkatan ini, karena itu seorang sufi yang sudah sampai pada tingkatan makrifat ini memiliki tanda-tanda tertentu, antara lain :
1.    Selalu memancar cahaya makrifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu sikap wara selalu ada pada dirinya.
2.    Tidak menjadikan keputusan pada suatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf belum tentu benar.
3.    Tidak meginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya pada hal yang haram.
4.    Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang sufi tidak menginginkan kemewahan dalam hidupnya, kiranya kebutuhan duniawi sekedar untuk menunjang ibadahnya, dan tingkatan makrifat yang dimiliki cukup menjadikan ia bahagia dalam hidupnya karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
5.    Sampai pada tingkatan yang paling tinggi dalam pencapaiannya sebagai seorang sufi, Sunan Kalijaga telah melewati beberapa tahapan untuk dapat menuju tingkatan makrifat dan mengenal siapa dirinya. Dalam perjalanan spiritualnya yang digambarkan dalam sebuah simbol kehidupan.

Dalam Suluk seh Malaya disebutkan “Lamun siro arsa munggah kaji, marang mekah kaki ana apa,….lamon ora weruh ing kakbah sejati, tan wruh iman hidayat”
artinya, jika kamu akan melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, kamu harus tahu tujuan.
Bila belum tahu tujuan yang sebenarnya dari ibadah haji, tentu apa yang dilakukan itu sia-sia belaka. Demikianlah sesungguhnya iman hidayat yang harus kau yakini dalam hati.
Keyakinan iman hidayat tidak mungkin ditemukan di luar diri manusia, namun ia sesungguhnya terletak di dalam diri atau batin manusia itu sendiri.

Dalam naskah Suluk Linglung disebutkan “cahaya gumawang tan wruh arane, pancamaya rampun, sejatine tyasira yekti, pangareping salira”. Artinya, cahaya yang mencorong tapi tidak diketahui namanya adalah pancamaya yang sebenarnya ada di dalam hatimu sendiri, bahkan mangatur dan memimpin dirimu.

Maksudnya manusia yang telah menyingkap dimensi batinnya, akan mengetahui hakikatnya, bahwa asal-usulnya dari Allah, berupa kesatuan hamba dengan Tuhan adalah Manunggaling Kawula-Gusti atau dalam Suluk Linglung diungkapkan dengan iman hidayat.
Proses ini dalam Suluk Linglung tercermin dalam kutipan “Lah ta mara seh Malaya aglis, umanjinga guwa garbaningwang” ,artinya, Seh Malaya segeralah kemari secepatnya, masuklah ke dalam tubuhku.

Dalam tahap ini jiwa manusia bersatu dengan jiwa semesta. Melalui kebersatuan ini maka manusia mencapai kawruh sangkan paraning dumadi, yaitu pengetahuan atau ilmu tentang asal-usul dan tujuan segala apa yang di ciptakan-Nya.

Tahap-tahap menuju suluk di jalan Allah dengan menempuh jalan yang di ridhoi Allah, demi kebahagiaan abadi baik di dunia dan di akhirat, telah diajarkan dengan baik oleh Sunan Kalijaga dengan menekankan pentingnya ajaran syari’at guna menggapai ajaran tarekat dan makrifat.


Mengunjungi Makam Wali Allah, Sultan Suriansyah

Makam Sultan Suriansyah   S ultan Suriansyah, berasal dari keturunan raja-raja Kerajaan Negara Daha. Ia merupakan Raja Banjar pertama yan...