Sabtu, 19 Agustus 2017

Islamisasi Dalam Nilai-Nilai Seni Budaya Nusantara

Dr. Th.G.Th. Pigeaud dalam Javaansche Volksvertoningen (1938) mengemukakan  bahwa wayang kulit
purwa yang dikenal sebagaimana sekarang ini adalah produk yang dihasilkan oleh wali-wali penyebar Islam. Menurut Soekmono (1959) yang menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia zaman madya adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah diislamkan. Yang dimaksud kebudayaan purba dalam konteks itu adalah kebudayaan Malaio-Polinesia Pra Hindu yang dimaksud oleh Prof. Dr.CC.Berg (1938) dan Prof.Dr.Gj. Held (1950) disebut animisme dan dinamisme, yakni kebudayaan yang lahir dari kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki “daya sakti” dalam kepercayaan terhadap arwah, sejatinya, yang dimaksud animisme-dinamisme itu adalah ajaran Kapitayan. Proses Islamisasi kebudayaan purba sebagaimana ditengarai Soekmono adalah bukti  asimilasi yang dilakukan para penyebar Islam generasi Wali Songo.


Bukti asimilasi lain dalam usaha mengislamkan anasir Hindu, adalah mengubah dan sekaligus menyesuaikan epos Ramayana dan Mahabaratha yang sangat digemari oleh masyarakat dewasa itu dengan ajaran Islam. Anasir Hindu yang dianggap penting untuk diislamkan adalah pakem crita wayang yang didasarkan pada cerita Ramayana dan Mahabaratha. Dalam proses tersebut terjadi “de-dewanisasi” menuju “humanisasi” demi tumbuhnya tauhid. Dalam usaha mengislamkan pakem cerita Ramayana dan Mahabaratha itu dibuat “cerita” yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang islami. Usaha “de-dewanisasi” yang dilakukan dalam mengislamkan epos Ramayana dan Mahabaratha, tercermin pada munculnya cerita-cerita yang berkait dengan kelemahan dan kekurangan dewa-dewa sebagai sesembahan manusia. Salah satu contoh dari kasus ini adalah timbulnya cerita Hyang Manikmaya (Batara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar). Kisah Manikmaya dan Ismaya itu secara singkat adalah sbb:

Dikisahkan bahwa sewaktu bumi masih awang-awung, yang  ada hanyalah Hyang Tunggal yang abstrak dan tak bisa digambarkan wujudnya. Hyang Tunggal kemudian menciptakan cahaya. Cahaya tersebut ada yang berkilau-kilau ada pulau yang kehitaman. Yang berkilau disebut Manikmaya dan yang kehitaman disebut Ismaya. Kedua cahaya itu berebut status tentang siapa diantara mereka yang paling tua. Hyang Tunggal memutuskan bahwa Ismaya yang kehitaman itulah yang paling tua. Tetapi Ismaya digambarkan tidak dapat menjadi dewa dan dititahkan untuk turun ke dunia sebagai manusia untuk mengasuh keturunan dewa yang berdarah pandawa. Sehingga turunlah Ismaya kedunia dengan wujud jelek dengan nama Semar. Manikmaya congkak dan menganggap dirinya sebagai dewa yang berkuasa dan tak bercacat. Oleh sebab itu, Manikmaya diberi cacat dan kesaktiannya dapat diatasi oleh kebijaksanaan Semar (Harjawirogo, 1952). Dengan kisah Hyang Manikmaya ini jelaslah bahwa akidah Islam mulai terlihat dengan munculnya Hyang Tunggal Yang Maha Esa dan tak bisa digambarkan wujudnya, yakni Hyang Tunggal yang menciptakan dewa-dewa manusia.

Tidak cukup menggambarkan kelemahan dewa-dewa, para penyebar Islam menyusun daftar silsilah dewa-dewa yang berasal dari galur keturunan Nabi Adam dan Ibu Hawa. Kisah-kisah abad 16 yang dicatat dalam kitab Paramayoga dan Pustakaraja Purwa tentang silsilah dewa-dewa adalah Sbb:
1 .Nabi Adam, 2. Nabi Syis, 3.Anwas dan Anwar,  4. Hyang Nur Rasa, 5.Hyang Wenang, 6. Hyang Tunggal, 7. Batara Sambu. 8. Manikmaya (Idajil atau iblis)
Sementara itu, menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa, silsilah dewa-dewa adalah sbb:
1.       Nabi Adam, 2. Nabi Syis, 3. Anwas dan Anwar, 4. Hyang Rasa, 5. Hyang Wenang, 6. Hyang Tunggal, 7. Batara Sambu, 8. Manikmaya (Idajil atau Iblis).

Di dalam babad Mataram yang masih ditulis dalam huruf Arab Pegon berbahasa Jawa milik dr. Sleh al Djufri, silsilah dewa-dewa dikisahkan sbb:

Suatu ketika, Nabi Adam dan istrinya terlibat dalam persoalan anak yang belum mereka miliki. Karena itulah atas daya Nabi Adam terbentuk seberkas cahaya yang akhirnya menjadi bayi laki-laki yang tampan. Kemudian Idajil (iblis) menghasut bayi tersebut agar meminta nama kepada Nabi Adam dan Ibu Hawa. Maka Nabi Adam yang waskita segera tahu atas ulah Idajil, sehingga bayi tersebut diberi nama oleh Nabi Adam, Sang Hyang Syies. Sementara itu Ibu Hawa memberi nama Jaya Kusuma. Sang Hyang Syies atau Jaya Kusuma itu kemudian mempunyai anak, yaitu Sang Hyang Nur Rasa.Sang Nur Rasa punya anak Sang Hyang Nur Cahya, di mana Sanghyang Nur Rasa punya anak Sang Hyang Wening, Sanghyang Tunggal, Sanghyang Ening, Sanghyang Wenang dan seterusnya sampai ke silsilah Parikesit dalam dunia pewayangan.

Dengan munculnya kisah-kisah tentang dewa yang asal-usulnya dari keturunan Nabi Adam, adalah bukti bahwa akidah Islam mulai tertanam di kalangan masyarakat lewat pakem pewayangan versi Wali Songo dan penerusnya yang lmbat laun kebenarannya diyakini oleh banyak orang. Pada gilirannya, kisah-kisah mitologi Hindu yang sudah mengalami interpolasi itu diyakini kebenarannya oleh masyarakat dan dijadikan pakem pewayangan. Bahkan, berdasar pakem pewayangan itu, bermunculan kisah-kisah pewayangan yang mengandung akidah Islam, yang akhirnya diikuti pula oleh masuknya nilai-nilai Islam dalam pakem pewayangan. Sebagian kisah pewayangan yang sudah diislamkan dalam pakem baru itu adalah sbb:

Pertama-tama, pakem yang menempatkan tokoh Drupadi sebagai perempuan utama yang menjadi permaisuri Yudhistira, saudara tertua pandawa, Raja Amarta. Drupadi dan Yudhistira dikisahkan memiliki putra bernama Pancawala. Penggambaran tokoh Drupadi itu adalah sebuah proses islamisasi terhadap kisah Mahabaratha yang asli. Dikatakan proses islamisasi, karena dalam kisah Mahabaratha hyang asli Drupadi bukan hanya istri Yudhistira melainkan pula istri lima orang pandawa, di mana Drupadi mempraktikkan poliandri. Dalam Mahabaratha asli, Dikisahkan memiliki lima orang anak dari lima orang suaminya, yakni, a. Partivinda dari suami Yudhistira, b, Srutasoma dari siami Bima. C, Srutakarma  dari suami Arjuna, d. Satanika dari suami Nakula. e. Srutasena dari suami Sahadewa. Demikianlah, lima orang putra Drupadi itu dalam pakem pewayangan Jawa hasil kreasi Wali Songo dan penerusnya disatukan dalam satu pribadi tokoh bernama Pancawala.

Tokoh Shikkandin, seorang waria yang mengalami pergantian kelamin dengan seorang raksasa bernama Sthuna, digambarkan dalam pakem pewayangan sebagai seorang perempuan sempurna dengan nama Srikandi. Tokoh Srikandi ini, dikisahkan sebagai istri Arjuna. Tokoh Bhima yang kejam dan haus darah yang dikenal dengan nama Wrekudoro (Sansekerta, Srigala), digambarkan sebagai tokoh yang jujur dan memperoleh pencerahan ruhani setelah bertemu Dewa Ruci. Padahal dalam Mahabaratha asli, pada bagian Swargarahanikaparwa, tokoh Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa dan Drupadi digambarkan setelah meninggal di Gunung Mahameru arwahnya sempat mampir ke neraka.

Kisah Bhagawan Drona, pertapa sakti yang mengabdi kepada Raja Hastina, dalam pewayangan digambarkan sebagai sosok yang jahat, licik dan curang. Padahal, dalam kisah Mahabaratha yang asli, tokoh Drona sangat dihormati dan digambarkan sebagai seorang pendeta sakti yang berjiwa perwira. Penggambaran Drona secara negtif tersebut, tidak bisa ditafsirkan lain kecuali sebagai pandangan yang berasal dari doktrin sufisme yang memandang hina seorang ruhaniawan yang mengabdi kepada raja.

Tak berbeda dengan pakem pewayangan kisah Mahabaratha, pakem pewayangan  kisah Ramayana pun merupakan hasil usaha dari penyesuaian nilai-nilai Hinduistik dengan nilai-nilai Islam. Kebiasaan poliandri yang lazim terjadi pada tokoh-tokoh dalam kisah Ramayana, diubah sedemikian rupa seolah-olah hanya bersifat simbolik dan bahkan dikaitkan dengan interpolasi cerita baru. Tokoh Hanuman, misalnya digambarkan dalam pakem pewayangan sebagai putra pertapa perempuan bernama Anjani dengan Bharatta Bayu. Padahal dalam kisah Ramayana asli, Anjani adalah istri Raja Kesari yang mandul. Anjani kemudian bergaul dengan pengelana yang dikenal  bernama Bayu, Dewa angin, sehingga lahir Hanuman  yang kelak disebut dengan nama Bayuputra. Kelahiran Bathara Guru (Agastya) dari tempayan yang diisi ‘air seni’ Bhatara Baruna dan ‘air seni’ bidadari Urwashi, istri Bhatara Mitra, tidak disinggung-singgung dalam pakem pewayangan Jawa. Bahkan, nama pertapa masyur Bharadwaja (Sansekerta: anak dari dua ayah), tidak pernah dibahas khusus dalam pakem pewayangan yang sudah terpengaruh nilai-nilai Islam.

Dengan kenyataan historis tentang keberadaan pakem pewayangan yang menyimpang dari naskah yang asli, semakin jelas bahwa usaha-usaha para penyebar Islam yang dikenal dengan sebutan Wali Songo itu telah melakukan perombakan setting budaya dan tradisi keagamaan yang ada di tengah masyarakat. Malahan, tidak sekedar melalui penyesuaian pakem pewayangan, legenda-legenda yang diangkat pun disesuaikan dengan akidah dan nilai-nilai keislaman. Pakem Ramayana dan Mahabaratha yang sudah diislamkan itu, divisualkan dalam bentuk petunjukkan wayang purwa, yang dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat luas. Dan, masyarakat yang terpesona dengan keindahan permainan wayang yang menggunakan pakem cerita yang sudah diislamkan, dengan cepat menganggap bahwa cerita Ramayana dam Mahabaratha versi Wali Songo itulah yang benar. Sumber: Atlas Wali Songo



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengunjungi Makam Wali Allah, Sultan Suriansyah

Makam Sultan Suriansyah   S ultan Suriansyah, berasal dari keturunan raja-raja Kerajaan Negara Daha. Ia merupakan Raja Banjar pertama yan...