Dr. Th.G.Th.
Pigeaud dalam Javaansche Volksvertoningen (1938)
mengemukakan bahwa wayang kulit
Bukti asimilasi
lain dalam usaha mengislamkan anasir Hindu, adalah mengubah dan sekaligus
menyesuaikan epos Ramayana dan Mahabaratha yang sangat digemari oleh masyarakat
dewasa itu dengan ajaran Islam. Anasir Hindu yang dianggap penting untuk
diislamkan adalah pakem crita wayang yang didasarkan pada cerita Ramayana dan
Mahabaratha. Dalam proses tersebut terjadi “de-dewanisasi” menuju “humanisasi”
demi tumbuhnya tauhid. Dalam usaha mengislamkan pakem cerita Ramayana dan
Mahabaratha itu dibuat “cerita” yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang
islami. Usaha “de-dewanisasi” yang dilakukan dalam mengislamkan epos Ramayana
dan Mahabaratha, tercermin pada munculnya cerita-cerita yang berkait dengan
kelemahan dan kekurangan dewa-dewa sebagai sesembahan manusia. Salah satu
contoh dari kasus ini adalah timbulnya cerita Hyang Manikmaya (Batara Guru) dan
Hyang Ismaya (Semar). Kisah Manikmaya dan Ismaya itu secara singkat adalah sbb:

Tidak cukup
menggambarkan kelemahan dewa-dewa, para penyebar Islam menyusun daftar silsilah
dewa-dewa yang berasal dari galur keturunan Nabi Adam dan Ibu Hawa. Kisah-kisah
abad 16 yang dicatat dalam kitab Paramayoga dan Pustakaraja Purwa tentang
silsilah dewa-dewa adalah Sbb:
1
.Nabi Adam, 2. Nabi Syis, 3.Anwas dan Anwar,
4. Hyang Nur Rasa, 5.Hyang Wenang, 6. Hyang Tunggal, 7. Batara Sambu. 8.
Manikmaya (Idajil atau iblis)
Sementara
itu, menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa, silsilah dewa-dewa adalah sbb:
1. Nabi Adam, 2. Nabi Syis, 3. Anwas dan Anwar, 4. Hyang Rasa, 5. Hyang Wenang,
6. Hyang Tunggal, 7. Batara Sambu, 8. Manikmaya (Idajil atau Iblis).
Di
dalam babad Mataram yang masih ditulis dalam huruf Arab Pegon berbahasa Jawa
milik dr. Sleh al Djufri, silsilah dewa-dewa dikisahkan sbb:
Suatu
ketika, Nabi Adam dan istrinya terlibat dalam persoalan anak yang belum mereka
miliki. Karena itulah atas daya Nabi Adam terbentuk seberkas cahaya yang
akhirnya menjadi bayi laki-laki yang tampan. Kemudian Idajil (iblis) menghasut
bayi tersebut agar meminta nama kepada Nabi Adam dan Ibu Hawa. Maka Nabi Adam
yang waskita segera tahu atas ulah Idajil, sehingga bayi tersebut diberi nama
oleh Nabi Adam, Sang Hyang Syies. Sementara itu Ibu Hawa memberi nama Jaya
Kusuma. Sang Hyang Syies atau Jaya Kusuma itu kemudian mempunyai anak, yaitu
Sang Hyang Nur Rasa.Sang Nur Rasa punya anak Sang Hyang Nur Cahya, di mana
Sanghyang Nur Rasa punya anak Sang Hyang Wening, Sanghyang Tunggal, Sanghyang
Ening, Sanghyang Wenang dan seterusnya sampai ke silsilah Parikesit dalam dunia
pewayangan.
Dengan
munculnya kisah-kisah tentang dewa yang asal-usulnya dari keturunan Nabi Adam,
adalah bukti bahwa akidah Islam mulai tertanam di kalangan masyarakat lewat
pakem pewayangan versi Wali Songo dan penerusnya yang lmbat laun kebenarannya
diyakini oleh banyak orang. Pada gilirannya, kisah-kisah mitologi Hindu yang
sudah mengalami interpolasi itu diyakini kebenarannya oleh masyarakat dan
dijadikan pakem pewayangan. Bahkan, berdasar pakem pewayangan itu, bermunculan
kisah-kisah pewayangan yang mengandung akidah Islam, yang akhirnya diikuti pula
oleh masuknya nilai-nilai Islam dalam pakem pewayangan. Sebagian kisah
pewayangan yang sudah diislamkan dalam pakem baru itu adalah sbb:
Pertama-tama,
pakem yang menempatkan tokoh Drupadi sebagai perempuan utama yang menjadi
permaisuri Yudhistira, saudara tertua pandawa, Raja Amarta. Drupadi dan
Yudhistira dikisahkan memiliki putra bernama Pancawala. Penggambaran tokoh
Drupadi itu adalah sebuah proses islamisasi terhadap kisah Mahabaratha yang
asli. Dikatakan proses islamisasi, karena dalam kisah Mahabaratha hyang asli
Drupadi bukan hanya istri Yudhistira melainkan pula istri lima orang pandawa,
di mana Drupadi mempraktikkan poliandri. Dalam Mahabaratha asli, Dikisahkan
memiliki lima orang anak dari lima orang suaminya, yakni, a. Partivinda dari
suami Yudhistira, b, Srutasoma dari siami Bima. C, Srutakarma dari suami Arjuna, d. Satanika dari suami
Nakula. e. Srutasena dari suami Sahadewa. Demikianlah, lima orang putra Drupadi
itu dalam pakem pewayangan Jawa hasil kreasi Wali Songo dan penerusnya
disatukan dalam satu pribadi tokoh bernama Pancawala.
Tokoh
Shikkandin, seorang waria yang mengalami pergantian kelamin dengan seorang
raksasa bernama Sthuna, digambarkan dalam pakem pewayangan sebagai seorang
perempuan sempurna dengan nama Srikandi. Tokoh Srikandi ini, dikisahkan sebagai
istri Arjuna. Tokoh Bhima yang kejam dan haus darah yang dikenal dengan nama
Wrekudoro (Sansekerta, Srigala), digambarkan sebagai tokoh yang jujur dan
memperoleh pencerahan ruhani setelah bertemu Dewa Ruci. Padahal dalam
Mahabaratha asli, pada bagian Swargarahanikaparwa, tokoh Bima, Arjuna, Nakula,
Sadewa dan Drupadi digambarkan setelah meninggal di Gunung Mahameru arwahnya
sempat mampir ke neraka.
Kisah
Bhagawan Drona, pertapa sakti yang mengabdi kepada Raja Hastina, dalam
pewayangan digambarkan sebagai sosok yang jahat, licik dan curang. Padahal,
dalam kisah Mahabaratha yang asli, tokoh Drona sangat dihormati dan digambarkan
sebagai seorang pendeta sakti yang berjiwa perwira. Penggambaran Drona secara
negtif tersebut, tidak bisa ditafsirkan lain kecuali sebagai pandangan yang
berasal dari doktrin sufisme yang memandang hina seorang ruhaniawan yang
mengabdi kepada raja.
Tak
berbeda dengan pakem pewayangan kisah Mahabaratha, pakem pewayangan kisah Ramayana pun merupakan hasil usaha dari
penyesuaian nilai-nilai Hinduistik dengan nilai-nilai Islam. Kebiasaan
poliandri yang lazim terjadi pada tokoh-tokoh dalam kisah Ramayana, diubah
sedemikian rupa seolah-olah hanya bersifat simbolik dan bahkan dikaitkan dengan
interpolasi cerita baru. Tokoh Hanuman, misalnya digambarkan dalam pakem
pewayangan sebagai putra pertapa perempuan bernama Anjani dengan Bharatta Bayu.
Padahal dalam kisah Ramayana asli, Anjani adalah istri Raja Kesari yang mandul.
Anjani kemudian bergaul dengan pengelana yang dikenal bernama Bayu, Dewa angin, sehingga lahir
Hanuman yang kelak disebut dengan nama
Bayuputra. Kelahiran Bathara Guru (Agastya) dari tempayan yang diisi ‘air seni’
Bhatara Baruna dan ‘air seni’ bidadari Urwashi, istri Bhatara Mitra, tidak
disinggung-singgung dalam pakem pewayangan Jawa. Bahkan, nama pertapa masyur
Bharadwaja (Sansekerta: anak dari dua ayah), tidak pernah dibahas khusus dalam
pakem pewayangan yang sudah terpengaruh nilai-nilai Islam.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar