 |
Petilasan Sunan Geseng |
Pada zaman dahulu, ada seorang wali yang terkenal sangat sakti,
namanya ialah Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam usahanya untuk menyiarkan agama
Islam, Kanjeng Sunan Kalijaga senantiasa berkelana ke berbagai tempat di
seluruh tanah Jawa. Pada suatu hari, perjalanan Kanjeng Sunan Kalijaga sampai
di wilayah Bagelen1.
Waktu itu, sebagian besar penduduk Bagelen bermatapencaharian sebagai tukang
“nderes” (penyadap aren). Saat Kanjeng Sunan Kalijaga tiba di Bagelen, ia
menjumpai seseorang yang akan nderes. Orang itu membawa tabung bambu sebagai
wadah legen (nira) yang diikatkan pada punggungnya.
Pada saat akan memanjat pohon kelapa, orang itu mengucapkan mantra:
“Klonthang-klanthung, wong nderes buntute bumbung” (klontang-klanthung, orang
nderes ekornya bumbung).
Mendengar itu, bertanyalah Kanjeng Sunan Kalijaga: “Ki sanak, mengapa waktu
akan kamu memanjat mengucapkan kalimat itu?”
“Yang saya ucapkan itu bukan kalimat sembarangan,” jawab yang ditanya. “Kalimat
itu mantranya tukang nderes seperti saya ini, bila ingin hasil yang banyak.”
“Caramu itu kurang tepat, ki sanak,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
Mendengar itu, tukang nderes tersebut nampak tersinggung, lalu katanya: “Ki
sanak rupanya belum tahu. Aku ini Kyai Cakrajaya. Semua orang di Bagelen ini
tahu siapa aku. Aku menjadi tukang nderes ini sejak kecil. Dan pekerjaan ini
adalah warisan dari nenek moyangku. Sejak nenek moyangku dahulu, mantra-mantra
tukang nderes ya seperti itu. Mengapa ki sanak mau menggurui aku?”
“Maafkan aku, Kyai Cakrajaya,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Bukan maksudku
akan menggurui Kyai. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku mempunyai mantra
yang akan dapat menelorkan hasil lebih banyak lagi.”
“Maksud ki sanak, mantra itu dapat menghasilkan legen lebih banyak lagi?” tanya
Kyai Cakrajaya.
“Bukannya menghasilkan legen yang banyak, melainkan meskipun sedikit, tetapi
dapat untuk menghidupi seluruh keluarga selama satu tahun,” kata Kanjeng Sunan
Kalijaga.
“Omong kosong,” kata Kyai Cakrajaya dengan perasaan jengkel.
“Kalau aku boleh membuktikan, mungkin ki sanak akan mempercayai omonganku,”
Kanjeng Sunan Kalijaga menjelaskan.
“Silakan ki sanak membuktikannya,” kata Kyai Cakrajaya.
“Bolehkah aku ikut memasak legen itu?” tanya Kanjeng Sunan.
“Silakan,” jawab Kyai Cakrajaya.
Kanjeng Sunan Kalijaga lalu mengikuti Kyai Cakrajaya pulang. Sesampai di rumah
Kyai Cakrajaya, mereka berdua mulai memasak legen, lalu di cetak dengan
tempurung kelapa, untuk dijadikan gula. Kanjeng Sunan mencetak satu tangkep,
lalu diserahkan kepada Kyai Cakrajaya.
“Kyai, sekarang aku akan melanjutkan perjalanan. Pesanku: gula satu tangkep ini
jangan dibuka, sebelum aku keluar dari desa ini.” Setelah berkata demikian,
Kanjeng Sunan Kalijaga lalu meninggalkan rumah Kyai Cakrajaya.
Beberapa saat lamanya setelah Kanjeng Sunan Kalijaga pergi, barulah Kyai
Cakrajaya membuka cetakan gula yang diserahkan oleh tamunya tadi. Betapa
terkejut Kyai Cakrajaya, setelah tahu isi cetakan itu, bukanlah gula kelapa,
melainkan emas.
Kini tahulah Kyai Cakrajaya, bahwa tamunya tadi bukannya orang sembarangan,
melainkan orang yang memiliki kesaktian luar biasa.
“Kalau bukan orang sakti, tidak mungkin dia memiliki kemampuan luar biasa
seperti itu,” begitu pikir Kyai Cakrajaya. Cepat-cepat dia berlari keluar dari
rumahnya, mengejar tamunya yang baru saja berangkat. Emas sebesar satu tangkep
gula kelapa, ditinggalkannya begitu saja.
Setelah berhasil mengejar, Kyai Cakrajaya pun berkata: “Kalau saya
diperbolehkan mengetahui bagaimana bunyi mantra itu, maka hidup matiku
kuserahkan kepada Kanjeng Sunan,” begitu kata Kyaia Cakrajaya setelah
berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.
“Mantra yang mana?” sambung Kanjeng Sunan.
“Mantra untuk membuat gula berubah menjadi emas,” jawab Kyai Cakrajaya.
“Untuk mendapat mantra itu, imbalannya sangat besar,” kata Kanjeng Sunan.
“Apakah imbalannya, Kanjeng Sunan?” tanya Kyai Cakrajaya.
“Laku, celathu, tumindak2,” jawab Kanjeng Sunan Kalijaga. “Kalau kamu ingin,
bergurulah kepadaku. Ikutilah segala tingkah lakuku.”
Singkat cerita, sejak saat itu, Kyai Cakrajaya meninggalkan tempat tinggalnya
di Bagelen, meninggalkan segala barang miliknya, lalu mengikuti Kanjeng Sunan
Kalijaga berkelana. Selama berkelana itu, Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan
ajaran agama Islam kepada Kyai Cakrajaya.
Pada suatu hari, berkatalah Kanjeng Sunan Kalijaga: “Anakku Cakrajaya. Aku akan
bersembahyang ke Mekkah. Tongkatku ini kutinggalkan di sini,” sambil berkata
begitu, Kanjeng Sunan Kalijaga menancapkan tongkat bambunya ke tanah. “Jagalah
tongkatku ini selama aku pergi. Jangan kau meninggalkan tempat ini sebelum
mendapat perintahku.”
“Sendika,” kata Kyai Cakrajaya.
Kanjeng Sunan pergi, sedang Cakrajaya dengan setianya melaksanakan pesan
Kanjeng Sunan. Dia duduk bersila di dekat tongkat yang ditancapkan di tanah
itu.
Ternyata kepergian Kanjeng Sunan Kalijaga itu lama sekali, sehingga pada saat
kembali lagi di tempat beliau menancapkan tongkat, keadaan telah berubah.
Tempat itu telah ditumbuhi “dhapuran pring ori” (sejenis pohon bambu) yang
rimbun sekali. Kyai Cakrajaya duduk bersila dengan tenangnya di tengah rumpun
bambu itu.
“Mengapa kau tetap di situ?” tanya Kanjeng Sunan.
“Mematuhi pesan Kanjeng Sunan, saya tidak pergi meninggalkan tempat ini sebelum
mendapat perintah.”
“Kalau begitu, kuperintahkan, keluarlah dari situ,” kata Kanjeng Sunan.
“Maaf, Kanjeng Sunan,” jawab Kyai Cakrajaya. “Tanpa bantuan Kanjeng Sunan, tak
mungkin saya dapat keluar dari rumpun bambu yang penuh duri ini.”
“Bagaimana kalau ku bakar dhapuran bambu ini?” tanya Kanjeng Sunan.
“Silakan, Kanjeng Sunan,” kata Kyai Cakrajaya tegas.
“Kau tidak takut terbakar?” tanya Kanjeng Sunan Kalijaga.
“Mematuhi perintah Kanjeng Sunan, apapun yang terjadi, hamba tidak takut
menghadapinya,” kata Kyai Cakrajaya.
Kanjeng Sunan lalu membakar rumpun bambu itu. Api berkobar memakan habis rumpun
bambu itu, dan Kyai Cakrajaya dapat keluar dengan selamat, hanya kulitnya
menjadi hitam karena hangus.
“Sekarang ujianmu sudah lulus, maka kamu kuberi sebutan Sunan,” kata Kanjeng
Sunan Kalijaga. “Dan karena tubuhmu geseng (hangus), maka kamu kunamakan
Geseng. Sejak saat itu, Kyai Cakrajaya dikenal dengan nama Sunan Geseng.
“Karena api yang mulad-mulad (berkobar-kobar) yang dapat membebaskan kamu dari
kungkungan rumpun bambu, maka tempat ini kunamakan Muladan”.
Dari tempat itu, Sunan Geseng lalu diajak berjalan ke arah timur. Di suatu
tempat, Kanjeng Sunan Kalijaga lalu menancapkan tongkatnya. Setelah tongkat itu
dicabut, timbullah sumber air dan menjadi sendang. Sunan Geseng disuruh mandi
di sendang itu. Seketika itu pula kotoran hangus pada tubuh Sunan Geseng dapat
bersih terhapus, hanyut di bawa aliran air, sampai di sungai yang dinamakan
Kedhung Pucung, dan sedang itu dinamakan Sendang Banyu Urip.
“Jebeng,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Kali Kedhung Pucung ini tempat
tertampungnya noda kotoran atau cemar yang semula melekat pada tubuhmu. Para
punggawa pemerintah jangan mandi di sungai ini, agar jangan kena cemar.”
Konon, sampai sekarang, kepercayaan terhadap pengaruh air kali Kedhung Pucung
itu masih hidup. Para pegawai pemerintah dan alat negara, tak berani mandi di
kali itu, khawatir dipecat atau turun pangkat.
Selanjutnya Kanjeng Sunan Kalijaga mengajap Sunan Geseng berjalan ke arah
barat. Sampai di suatu tempat, mereka berdua berhenti, lalu menetap. Di tempat
itu Kanjeng Sunan Kalijaga memberikan wejangan yang mendalam tentang agama
Islam kepada Sunan Geseng. Dengan tekunnya Sunan Geseng ngaji (mempelajari)
ilmu yang dituangkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Tempat itu akhirnya
berkembang menjadi sebuah desa, disebut Desa Ngajen3.
1 Bagelen dahulu termasuk dalam Karesidenan Kedu, Provinsi Jawa Tengah.
2 Laku, celathu, tumindak artinya berlaku, berbicara dan bertindak baik.
3 Desa Ngajen saat ini berada di wilayah Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul,
Yogyakarta.