Sabtu, 19 Agustus 2017

Islamisasi Kapitayan dan Hindu-Budha

Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa pasca-runtuhnya Majapahit yang dianggap menjdi salah satu sentra terpenting penyebaran nilai-nilai hasil asimilasi sosio-kultur salah satu masyarakat muslim. Menurut historiografi Jawa. Kerajaan Demak ditegakkan oleh Raden Patah dengan gelar Senopati Jimbun Panemnahan Palembang Sayidin Panatagama yang merupakan murid Sunan Ampel. Sekalipun Demak dianggap Kerajaan Islam, namun tata pemerintahan dan produk hukum yang dijadikan acuan penegakan negara menunjuk pada pola hukum Majapahit. Angger Surya Ngalam, kitab hukum era Demak, secara substansial dapat dinilai lebih dekat kepada hukum yang termaktub di dalam kitab Salokantara dan Kutaramanawa Dharmasashtra yang digunakan di Majapahit. Hal itu menunjuk bahwa proses asimilasi sosio-kultur-religius dilakukan juga pada usaha bina negara oleh Raden Patah, santri alumni Dukuh Ampeldenta tersebut. Bahkan belakangan  putra Raden Patah yang bernama Trenggana, menyempurnakan syarat-syarat berdirinya sebuah kekuasaan tradisional dengan memboyong pusaka-pusaka Majapahit ke Demak, sehingga Demak dianggap sebagai kelanjutan Majapahit.

Secara tradisional, keberadaan sebuah negara di Nusantara agar mendapat legitimasi dari seluruh elemen masyarakat diwajibkan untuk memenuhi berbagai macam persyaratan-persyaratan tertentu. Pertama: Negara harus memiliki Raja atau Ratu, yakni manusia kuat yang diliputi kekuatan-kekuatan supranatural sekaligus memiliki kemampuan untuk memimpin negara. Kedua:  Kewibawaan  negara hanya mungkin terjadi jika negara ditunjang oleh kekuatan supranatural  yang berupa pusaka-pusaka yang memiliki “daya sakti” sehingga negara yang tidak memiliki pusaka kurang mendapatkan legitimasi di mata rakyat. Ketiga: Sejak era Kalingga pada abad 7 M, sebuah penegakan hukum yang keras menjadi prasyarat bagi otoritas negara dalam mengatur tatanan warga negara. Keempat:  Kekeuasaan seorang pemimpin negara  akan legitimated di mata rakyat jika didukung oleh kalangan elit spitual. Kasus runtuhnya kekuasaan Kertadjaya, penguasa Kediri, jelas bermula dari penolakan para pendeta Syiwa untuk mendukung kebijakan raja yang ingin dirinya disembah sebagai penjelmaan dewa.

Sampai zaman penegakan kekuasaan Demak Bintara, kedudukan Wali Songo sebagai lembaga keramat tempat elite spritual keagamaan berkumpul, berupakan penopang utama kerajaan Islam pertama di jawa tersebut. Kekuasaan Demak Bintara semakin kukuh setelah Sultan Trenggana memboyong pusaka-pusaka Majapahit ke keratonnya. Ketika Sultan Adiiwijaya menjadi penguasa di Pajang dan memindahkan pusaka-pusaka Demak ke Pajang, keabsahan kuasanya sudah diakui, tetapi menjadi semakin kuat mendapat legitimasi dari rakyat setelah Sultan Adiwijaya dilantik oleh Sunan Prapen dari Giri. Demikian pun raja-raja Mataram, legitimasi spritualnya selain diperoleh dari pusaka-pusaka yang diboyong dari keraton Pajang juga diperoleh terutama dari legitimasi Sunan Kalijaga dan keturunannya. Dari fenomena tersebut diatas, tidak bisa dimaknai lain  kecuali sebagai suatu proses asimilasi dari sistem kekuasaan tradisional yang terpengaruh Kapitayan dan Hindu-Budha dengan Islam, yang bisa dikatakan sebagai bagian islamisasi atas ajaran Kapitayan dan Hindu-Budha.

Usaha dakwah Islam melalui proses islamisasi ajaran Kapitayan dan Hindu-Budha, tampaknya yang paling cepat dan masif adalah melalui pengembangan dukuh-dukuh yang semula merupakan lembaga pendidikan Hindu-Budha tempat bermukimnya para siswa dan wiku serta melalui padepokan-padepokan yang merupakan lembaga pendidikan Kapitayan tempat bermukimnya para cantrik. Melalui lembaga-lembaga pendidikan lokal itulah ajaran Islam yang disesuaikan dengan Kapitayan dan Hindu-Budha dapat berkembang dengan cepat di  tengah masyarakat. Sebab, semakin banyak dukuh dan padepokan baru tumbuh di tengah masyarakat, semakin banyak pula orang yang menjalani kehidupan sebagai seorang wiku atau cantrik, di mana ajaran Islam yang mirip dengan tatanan Syiwa-Budha bagi wiku dan tatanan Kapitayan bagi cantrik itu semakin berkembang luas di tengah masyarakat. Itu sebabnya, kelahiran Islam tradisional yang khas  dari lembaga pendidikan tradisional yang kemudian dikenal dengan nama “pesantren” yang merupakan perkembangan dari dukuh dan padepokan, sangat akrab dengan istilah-istilah lokal keagamaan Syiwa-Budha dan Kapitayan yang “membumikan” istilah-istilah Islam yang berasal dari bahasa Arab.

Proses islamisasi Kapitayan dan Hindu-Budha sebagaimana dikemukakan diatas, jejak-jejak dakwahnya masih dapat kita lacak melalui pengkajian ulang praktek-praktek keragaman umat Islam di Indonesia, baik melalui pengkajian nilai-nilai sosio-kultur-religius, adat kebiasaan masyarakat, warisan seni dan budaya, falsafah hidup, tradisi keagamaan, aliran-aliran tarekat, bahkan dari aspek penyerapan bahasa asing maupun penyesuaian bahasa asing ke dalam bahasa setempat. Dalam praktek-praktek keagamaan yang dijalankan oleh masyarakat muslim di Nusantara yang berhubungan dengan gerakan dakwah Islam yang dilakukan oleh Wali Songo, tampak sekali jejak-jejak usaha “membumikan” ajaran Islam melalui usaha dakwah yang disebut KH. Abdurrahman Wahid (1981) sebagai “pribumisasi Islam”.


Fakta tentang “pribumisasi Islam” yang dilakukan oleh Wali Songo dalam dakwah sebagaimana ditengarai KH. Abdurrahman Wahid, jejaknya masih terlihat sampai saat ini dalam bentuk penyesuaian ajaran Islam yang menggunakan bahasa Arab menjadi bahasa setempat, tempat Wali Songo berdakwah. Sejumlah istilah lokal yang digunakan untuk menggantikan istilah-istilah berbahasa Arab, misalnya,  dapat dilihat dari penggunaan sebutan Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menggantikan sebutan Allahu Rabbul AlamimKanjeng Nabi untuk menyebut Nabi Muhammad Saw, susuhunan untuk mengganti sebutan hadratus syaikh, kyai untuk menyebut al  alim, guru, guru untuk menyebut al-ustadz, santri untuk menyebut murid atau salik, pesantren untuk menyebut ma’had atau halaqah, sembayang untuk menggantikan istilah shalat, upawasa atau puasa untuk menggantikan istilah shaum, selam atau sunat untuk menggantikan khitan, tajug atau langgar untuk menggantikan istilah musholla, swarga untuk menggantikan istilah jannah, neraka untuk menggantikan Naral-jananam, bidadari menggantikan istilah hur, termasuk proes penyerapan kosa kata dari bahasa Arab ke bahasa setempat seperti kata sabar (shabar), adil (adil), lila (ridho), andap asor (tawadhu), ngalah (tawakkal), juga mengambil alihan anasir-anasir tradisi keagamaan Syiwa-Budha dan Kapitayan yang dipungut secara utuh ke adalam adat kebiasaan masyarakat Islam seperti bedhug (tambur tengara waktu sembahyang di sanggar Kapitayan atau vihara Budha), tumpeng, tumbal, nyadran (sisa-sisa dari upacara sraddha, yaitu berkirim doa kepada arwah leluhur), keyakinan terhadap keberadaan Naga Sesha dalam sistem hitungan kalender, pawukon yang berkaitan dengan hari baik dan hari tidak baik, menyakini “Tu-ah” dan “Tu-lah” pada manusia suci dan benda-benda bertuah, meyakini  bahwa di sekitar dunia manusia tinggal makhluk-makhluk halus, yang semua itu menunjukkan telah terjadinya proses asimilasi dan sinkretisasi dakwah Islam di Nusantara yang diketahui jejaknya berasal dari zaman Wali Songo. Sumber: Atlas Wali Songo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengunjungi Makam Wali Allah, Sultan Suriansyah

Makam Sultan Suriansyah   S ultan Suriansyah, berasal dari keturunan raja-raja Kerajaan Negara Daha. Ia merupakan Raja Banjar pertama yan...