Secara tradisional, keberadaan sebuah negara di Nusantara
agar mendapat legitimasi dari seluruh elemen masyarakat diwajibkan untuk
memenuhi berbagai macam persyaratan-persyaratan tertentu. Pertama: Negara harus
memiliki Raja atau Ratu, yakni manusia kuat yang diliputi kekuatan-kekuatan
supranatural sekaligus memiliki kemampuan untuk memimpin negara. Kedua: Kewibawaan negara hanya mungkin terjadi jika negara
ditunjang oleh kekuatan supranatural yang
berupa pusaka-pusaka yang memiliki “daya sakti” sehingga negara yang tidak
memiliki pusaka kurang mendapatkan legitimasi di mata rakyat. Ketiga: Sejak era
Kalingga pada abad 7 M, sebuah penegakan hukum yang keras menjadi prasyarat
bagi otoritas negara dalam mengatur tatanan warga negara. Keempat: Kekeuasaan seorang pemimpin negara akan legitimated di mata rakyat jika didukung
oleh kalangan elit spitual. Kasus runtuhnya kekuasaan Kertadjaya, penguasa
Kediri, jelas bermula dari penolakan para pendeta Syiwa untuk mendukung
kebijakan raja yang ingin dirinya disembah sebagai penjelmaan dewa.
Sampai zaman penegakan kekuasaan Demak Bintara, kedudukan
Wali Songo sebagai lembaga keramat tempat elite spritual keagamaan berkumpul,
berupakan penopang utama kerajaan Islam pertama di jawa tersebut. Kekuasaan
Demak Bintara semakin kukuh setelah Sultan Trenggana memboyong pusaka-pusaka
Majapahit ke keratonnya. Ketika Sultan Adiiwijaya menjadi penguasa di Pajang
dan memindahkan pusaka-pusaka Demak ke Pajang, keabsahan kuasanya sudah diakui,
tetapi menjadi semakin kuat mendapat legitimasi dari rakyat setelah Sultan
Adiwijaya dilantik oleh Sunan Prapen dari Giri. Demikian pun raja-raja Mataram,
legitimasi spritualnya selain diperoleh dari pusaka-pusaka yang diboyong dari
keraton Pajang juga diperoleh terutama dari legitimasi Sunan Kalijaga dan
keturunannya. Dari fenomena tersebut diatas, tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai suatu proses asimilasi dari
sistem kekuasaan tradisional yang terpengaruh Kapitayan dan Hindu-Budha dengan
Islam, yang bisa dikatakan sebagai bagian islamisasi atas ajaran Kapitayan dan
Hindu-Budha.
Usaha dakwah Islam melalui proses islamisasi ajaran
Kapitayan dan Hindu-Budha, tampaknya yang paling cepat dan masif adalah melalui
pengembangan dukuh-dukuh yang semula merupakan lembaga pendidikan Hindu-Budha
tempat bermukimnya para siswa dan wiku serta melalui padepokan-padepokan yang
merupakan lembaga pendidikan Kapitayan tempat bermukimnya para cantrik. Melalui
lembaga-lembaga pendidikan lokal itulah ajaran Islam yang disesuaikan
dengan Kapitayan dan Hindu-Budha dapat berkembang dengan cepat di tengah masyarakat. Sebab, semakin banyak
dukuh dan padepokan baru tumbuh di tengah masyarakat, semakin banyak pula orang
yang menjalani kehidupan sebagai seorang wiku atau cantrik, di mana ajaran
Islam yang mirip dengan tatanan Syiwa-Budha bagi wiku dan tatanan Kapitayan
bagi cantrik itu semakin berkembang luas di tengah masyarakat. Itu sebabnya,
kelahiran Islam tradisional yang khas
dari lembaga pendidikan tradisional yang kemudian dikenal dengan nama
“pesantren” yang merupakan perkembangan dari dukuh dan padepokan, sangat akrab
dengan istilah-istilah lokal keagamaan Syiwa-Budha dan Kapitayan yang
“membumikan” istilah-istilah Islam yang berasal dari bahasa Arab.
Proses islamisasi Kapitayan dan Hindu-Budha sebagaimana
dikemukakan diatas, jejak-jejak dakwahnya masih dapat kita lacak melalui
pengkajian ulang praktek-praktek keragaman umat Islam di Indonesia, baik
melalui pengkajian nilai-nilai sosio-kultur-religius, adat kebiasaan
masyarakat, warisan seni dan budaya, falsafah hidup, tradisi keagamaan,
aliran-aliran tarekat, bahkan dari aspek penyerapan bahasa asing maupun penyesuaian
bahasa asing ke dalam bahasa setempat. Dalam praktek-praktek keagamaan yang
dijalankan oleh masyarakat muslim di Nusantara yang berhubungan dengan gerakan
dakwah Islam yang dilakukan oleh Wali Songo, tampak sekali jejak-jejak usaha
“membumikan” ajaran Islam melalui usaha dakwah yang disebut KH. Abdurrahman
Wahid (1981) sebagai “pribumisasi Islam”.
Fakta tentang “pribumisasi Islam” yang dilakukan oleh
Wali Songo dalam dakwah sebagaimana ditengarai KH. Abdurrahman Wahid, jejaknya
masih terlihat sampai saat ini dalam bentuk penyesuaian ajaran Islam yang
menggunakan bahasa Arab menjadi bahasa setempat, tempat Wali Songo berdakwah.
Sejumlah istilah lokal yang digunakan untuk menggantikan istilah-istilah
berbahasa Arab, misalnya, dapat dilihat
dari penggunaan sebutan Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menggantikan sebutan
Allahu Rabbul Alamim, Kanjeng Nabi untuk
menyebut Nabi Muhammad Saw, susuhunan untuk mengganti sebutan hadratus syaikh,
kyai untuk menyebut al alim, guru, guru
untuk menyebut al-ustadz, santri untuk menyebut murid atau salik, pesantren
untuk menyebut ma’had atau halaqah, sembayang untuk menggantikan istilah
shalat, upawasa atau puasa untuk menggantikan istilah shaum, selam atau sunat
untuk menggantikan khitan, tajug atau langgar untuk menggantikan istilah
musholla, swarga untuk menggantikan istilah jannah, neraka untuk menggantikan
Naral-jananam, bidadari menggantikan istilah hur, termasuk proes penyerapan
kosa kata dari bahasa Arab ke bahasa setempat seperti kata sabar (shabar), adil
(adil), lila (ridho), andap asor (tawadhu), ngalah (tawakkal), juga mengambil
alihan anasir-anasir tradisi keagamaan Syiwa-Budha dan Kapitayan yang dipungut
secara utuh ke adalam adat kebiasaan masyarakat Islam seperti bedhug (tambur
tengara waktu sembahyang di sanggar Kapitayan atau vihara Budha), tumpeng,
tumbal, nyadran (sisa-sisa dari upacara sraddha, yaitu berkirim doa kepada
arwah leluhur), keyakinan terhadap keberadaan Naga Sesha dalam sistem hitungan
kalender, pawukon yang berkaitan dengan hari baik dan hari tidak baik,
menyakini “Tu-ah” dan “Tu-lah” pada manusia suci dan benda-benda bertuah,
meyakini bahwa di sekitar dunia manusia
tinggal makhluk-makhluk halus, yang semua itu menunjukkan telah terjadinya
proses asimilasi dan sinkretisasi dakwah Islam di Nusantara yang diketahui
jejaknya berasal dari zaman Wali Songo. Sumber: Atlas Wali Songo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar