Petilasan yang
menempel di dinding gunung kapur bertutupkan kain putih itu terdiri dari dua
pintu, ada gambar sketsa Walisongo sebagaimana gambar-gambar yang dijual di
pasar-pasar dengan bahu harum semerbak bunga kencana dan bunga bureh. Untuk
menuju lokasi itu, terlebih dahulu harus melewati tikungan, tanjakan
gunung-gunung kapur. Setelah itu, harus naik tangga setinggi 2.5 meter. Di
sanalah tempat petilsan Walisongo yang dikenal dengan sebutan “Petilsan
Gembul”. Letaknya ada di Desa Jadi, Semanding Tuban.
Bagi masyarakat Tuban,
petilasan gembul memang tidak begitu banyak yang mengetahui. Yang datang ke
sana juga tidak banyak. Justru yang banyak datang ke sana adalah masyarakat
Lamongan, Semarang, Bojonegoro, Kalimantan, Sumatera, dan Malaysia.
“Dinamakan Gembul
karena tempat itu merupakan tempat berkumpulnya Walisongo. Gembul berasal dari
kata gembu yang artinya tempat berkumpul” kata Samidin, juru kunci patilasan
Gembul. Dia menjadi juru kunci Gembul sudah 20 tahun setelah menggantikan
bapaknya.
“Kalau pembukuan
tentang asal mula Gembul itu memang tidak ada. Saya pernah ingat Mbah Syifa’
pernah mengatakan kalau Walisongo memang pernah berkumpul di sini. Sebelumnya
sudah ada Syekh Muhyidin sedang Riyadhoh di sana. Baru kemudian Walisongo
berkumpul di situ,’’tutur Mashadi.
Mashadi menambahkan,
berkumpulnya Walisongo di kawasan itu adalah guna membahas rencana pembangunan
masjid Demak. Dari pertemuan itu disepakati kalau masjid Demak harus
menjadikan. ‘’Karena itu, desa ini namanya Desa Jadi karena keputusan pokoknya
masjid Demak harus jadi.”
Bangunan petilasan
Gembul, memang sejak dulu hingga sekarang masih seperti itu. Tidak ada yang
merubahnya atau merenovasi. Hanya ada penambahan sedikit seperti keramik,
sedang kain putih yang sudah lusuh dan sobek hanya ditambahi di atasnya dengan
kain putih yang baru. Kain putih yang lama tetap dipasang.
“Dulu Bupati Hindarto
punya rencana akan membangun untuk dijadikan obyek wisata. Beliau sudah datang
bersama rombongan. Mereka bawa foto, ada yang bawa shooting, sudah ada gambar
calon bangunannya. Namun ketika difoto dan disyuting, tidak tampak. Disyuting
juga tidak muncul. Sehingga niatan itu tidak dilaksanakan,” ungkap Samidin,
warga Rengel yang sedang berkunjung ke Gembul.
Sejauh ini memang
belum ada keinginan untuk dijadikan sebagai tempat obyek wisata atau wisata
religi. Selain karena akses menuju ke sana yang sulit, kebersihan juga belum
terjaga. Di sekitar petilasan Gembul masih banyak kera yang berkeliaran.
“Kalau dijadikan obyek
wisata, sebelum ada petunjuk, tidak akan dilaksanakan Mas,” kata Samidin.
“Anggota DPRD Tuban
pernah ke Gembul sana Pak Warsito dan Pak Kasmani. Meski mereka datangnya tidak
bersamaan tapi keduanya punya maksud yang sama yaitu mengusulkan ke bupati agar
petilasan gembul dijadikan sebagai obyek wisata. Dan menurut saya juga bagus,
saya sangat setuju karena tempatnya strategis tapi harus dijaga kebersihannya
dulu,” kata Mashadi.
Selain di atas ada
petilasan, di bagian bawah juga ada satu batu yang berbentuk lonjong berdiri.
Ada yang mengatakan bahwa dulu itu pada saat Walisongo berkumpul di sana
digunakan sebagai tempat ikatan gajahnya walisongo. Memang sepintas batu itu
kecil dan bisa dipeluk, akan tetapi tidak semua orang yang mampu memeluk batu
itu. Sebagian pengunjung meyakini jika memeluk batu itu dan bermunajat kepada
Allah segala yang menjadi keinginannya akan tercapai asal pelukannya bisa
menjangkau tangan satunya.
Meski di petilasan
gembul ini tidak ada makam, namun setiap pengunjung harus tetap selalu menjaga
hatinya dari segala niat yang buruk dan selalu menjaga kesucian.
“Dulu pernah ada anak-anak SMA dari Pondok Lamongan. Mendadak
ada 10 santri yang tiba-tiba kesurupan dan baru sembuh setelah minum air di
situ. Setelah ditelusuri ternyata 10 santri tadi sedang bulanan atau menstruasi
tetapi tetap naik dan tidak mengaku. Padahaal sebelumnya sudah diingatkan,”
ungkap Samidin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar