Kamis, 17 Agustus 2017

Sunan Ampel Awal Kedatangannya ke Jawa

Makam Sunan Ampel
Salah satu Wali Songo, Yakni Sunan Ampel makamnya terletak di kampung Ampel, kota Surabaya, beliau dalah guru rohani yang paling tua dan  paling memiliki peranan sangat besar dalam pengembangan dakwah  Islam di Nusantara. Sunan Ampel  mendidik kader-kader penggerak dakwah Islam seperti: Sunan Giri, Raden patah, Raden Kusen, Sunan Bonang dan Sunan Drajat dengan cara menikahkan juru dakwah dengan putri-putri penguasa bawahan Majapahit. Sunan Ampel membentuk keluarga-keluarga muslim dalam suatu jaringan kekerabatan yang menjadi cikal bakal dakwah Islam di berbagai daerah. Sunan Ampel sendiri menikahi putri Arya Teja, Bupati Tuban yang juga cucu Arya Lembusura, Raja Surabaya yang muslim. Jejak dakwah Sunan Ampel tidak hanya di Surabaya dan ibu kota Majapahit, melinkan meluas ke wilayah Kalimantan.

Dalam historiografi local, diceritakan bahwa Raden Rahmat datang ke Jawa dengan saudara tuanya yang bernama Ali Musada (Ali Murtadho) dan saudara sepupunya yang bernama Raden Burereh (Abu Hurairah). Menurut Lembaga Riset Islam Pesdantren Luhur Sunan Giri, Malang, dalam Sejarah dan dakwah Islamiah Sunan Giri (1975), imam Rahmatullah (Raden Rahmat) bersama ayahnya datang ke Jawa dengan tujuan dakwah Islamiyah dengan disertai saudaranya yang bernama Ali Murtadho dan kawannya bernama Abu Hureirah putra raja Champa, mereka mendarat di Tuban. Setelah beberapa lama tinggal di Tuban sampai ayahnya meninggal, imam Rahmatullah kemudian berangkat menuju ke Majapahit untuk menjumpai bibinya yang dinikai oleh Raja Majapahit yang masih beragama Buddha.  Sementara itu, menurut Djayadiningrat dalam Sejarah Banten (1983) dikisahkan bahwa Raden Rahmat ketika dewasa mendengar tentang peperangan di Jawa. Dengan tiga orang pandhita muda (ulama muda) lainnya, Burereh, Seh Salim dan saudaranya yang tidak disebutkan namanya. Raden Rahmat berangkat ke Jawa, Usai berangkat ke Jawa, tak lama kemudian Champa negeri asalnya,  dihancurkan oleh  seorang kafir dari Sanggora.

Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi pada awal dasawarsa keempat abad ke 15, yakni saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang, sebagaimana riwayat yang menyatakan bahwa sebelum ke Jawa, Raden Rahmat telah singgah di Palembang. Menurut Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam (1977), Raden Rahmat sewaktu di Palembang menjadi tamu Arya Damar selama dua bulan, dan dia berusaha mengenalkan Islam kepada raja muda Palembang tersebut.  Arya Damar yang sudah tertarik dengan Islam itu hampir saja diikrarkan menjadi Islam. Namun karena tidak berani menanggung resiko menghadapi tindakan rakyatnya yang masih terikat dengan kepercayaan lamanya, Sang Adipati tidak mau menyatakan keislamannya di depan umum. Menurut cerita setempat, setelah memeluk Islam, Arya Damar menggunakan nama Ario Abdillah.

Peziarah di Makam Sunan Ampel
Keterangan dari Hikayat Hasanuddin yang dikupas oleh J Edel (1938) menjelaskan pada waktu itu kerajaan Champa ditaklukkan oleh Raja Koci, Raden Rahmat  posisi sudah bermukim di Jawa. Itu berarti Raden Rahmat datang ke Jawa sebelum tahun 1446 M, yakni pada tahun jatuhnya Champa akibat serbuan dari Vietnam. Hal ini sejalan dengan sumber dari Serat Walisongo yang menyatakan bahwa Prabu Brawijaya, Raja Majapahit mencegah Raden Rahmat untuk kembali ke Champa, sebab Champa sudah rusak akibat kalah perang dengan Kerajaan Koci (myang katuju ing wakta/ lamun ing Champa nagari/mangkya manggih karisakan/kaser prang lan natenng Koci). Penempatan Raden Rahmat di Surabaya dan saudaranya di Gresik, tampaknya memiliki kaitan erat dengan suasana politik di Champa, sehingga dua bersaudara tersebut ditempatkan di Suarabaya dan Gresik dan dinikhkan dengan perempuan setempat.

Babad Ngampeldenta menuturkan bahwa pengangkatan resmi Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya dengan gelar Sunan dan kedudukan wali di ngampeldenta dilakukan oleh Raja Majapahit. Dengan demikian, Raden Rhmat lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ngampel. Menurut sumber Legenda Islam yang dicatat HJ.De Graaf dan Th G.Th. Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1986), Raden Rahmat diangkat menjadi Imam Masjid  oleh  pejabat pecat Tandha di Terung bernama Arya Sena. Penempatan Raden Rahmat di Surabaya, selain di lakukan secara resmi oleh Pecat Tandha di Terung juga di sertai oleh keluarga-keluarga yang dipercayakan Majapahit untuk dipimpinnya. Menururt Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Sunan Giri Malang (1975), karena hubungan baik dengan Raja Majapahit, Raden Rahmat diberi izin tinggal di Ampel disertai oleh keluatga-keluarga yang  diserahkan oleh Majapahit.

Dalam perjalanan menuju Ampel, dikisahkan Raden Rahmat melewati daerah Pari, Kriyan, Wonokromo dan Kembang Kuning yang berupa hutan. Di tempat itu, Raden Rahmat bertemu dengan Ki Wiryo Saroyo. Menurut sumber lin, Ki Wirajay, yang dikenal sebagai Ki Bang Kuning yang kemudian menjadi pengikut Raden Rahmat. Sementara menururt Babad Tanah Jawi, sewaktu tinggal di kediaman Ki Bang Kuning, Raden Rahmat menikah dengan putri Ki Bang Kuning yang bernama Mas Karimah. Dari pernikahannya itu lahirlah  dua orang putri: Mas Murtosiyah dan Mas Murtosimah. Selama tinggal di kediaman Ki Bang Kuning, Raden Rahmat dikisahkan membangun sebuah masjid dan menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat sekitar. Demikianlah, Ki bang Kuning yang menjadi mertua Raden  Rahmat ikut berperan serta mengambangkan dakwah Islam di sekitar kediamannya, terutma  melalui masjid yang telah dibangun oleh menantunya. Oleh karena Ki Bang Kuning memiliki putrid bernama Mas Karimah, maka ia dikenal juga dengan sebutan Mbah Karimah, artinya ‘bapaknya Si Karimah’. Dengan nama itu, ia lebih dikenal masyarakat sekitar sebagai sesepuh desa sehingga saat wafat makamnya dijadikan peziarahan oleh umat Islam.

Menurut Serat walisongo, Raja Majapahit tidak langsung mengangkat Raden Rahmat di Ampeldenta, melinkannya menyerhkannya ke Adipati Surabaya bawahan Majapahit bernama Arya Lembusura, yang bergama Islam. Arya Lembusura dikisahkan menempatkan Raden Santri Ali menjadi imam di Gresik dengan gelar Raja Pandhita Agung dengan nama Ali Murtala (Ali Murtadho). Setelah itu, Arya Lembusura menempatkan Raden Rahmat sebagai imam si Suarabaya, berkediaman di Ampeldenta dengan gelar Sunan Ampeldenta, dengan nama  Pangeran Katib. Bahkan, dikisahkan Raden Rahmat menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja dari Tuban. Menurut Sejarah Dalem, Arya Teja dari Tuban menikahi putri Arya Lembusura dan menurunkan bupati-bupati Tuban. Hal itu berarti, Nyai Ageng Manila yang dinikahi Raden Rahmat adalah cucu perempuan Arya Lembusura. Oleh karena terhitung cucu menantu Arya Lembusura, maka pada saat Arya Lembusura mangkat, Raden Rahmat menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Surabaya, sebagaimana  dikisahkan sumber-sumber tertulis seperti Sejarah  Regent Soerabaja yang mencatat bahwa Raden Rahmat adalah bupati pertama Surabaya (punika panjenengan ing kabupaten surapringga, kangjeng sinuhun ngAmpeldenta, name pangeran rahmat juluk she mahddum, seda kasreaken ing ngampel).  
Sumber: Atlas Walisongo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengunjungi Makam Wali Allah, Sultan Suriansyah

Makam Sultan Suriansyah   S ultan Suriansyah, berasal dari keturunan raja-raja Kerajaan Negara Daha. Ia merupakan Raja Banjar pertama yan...