Pada adegan peperangan
misalnya, dalang harus mampu memiliki ketrampilan “sabetan” yang cukup baik.
Selain itu, dalang harus mampu memainkan adegan-adegan yang sesuai dengan
pakemnya, misalnya adegan wayang yang tengah gembira, maka sang dalang juga
harus mampu menghadirkan ekspresi gembira. Begitu pula ketika dituntut untuk
menghadirkan adegan-adegan sedih, seorang dalang juga harus mampu bersikap
mancolo putro mancolo putri agar penonton terbawa dan menghayati setiap lakon
yang dimainkan.
Keahlian sekaligus
kelihaian dalang tidak berhenti atau cukup di situ saja. Kepintaran bersikap
mancolo putro mancolo putri dan harus didukung ilmu kebudayaan dan ketuhanan.
Mengapa demikian? Karena dalam sejarah wewayangan, kisah wayang tidak tidak
terhenti pada nilai estetika tetapi wayang merupakan media bagi masyarakat.
Wayang bagi orang Jawa merupakan compelling riligius mythology, yakni yang
menyatukan masyarakat Jawa secara menyeluruh, baik secara horizontal maupun
secara vertical. Sedangkan Ward Keeler mengaitkan aspek-aspek tersebut direfleksikan
ke dalam kehidupan sosial dan kedudukan relatif sosial.
Kedua ilmuwan tersebut
menemukan titik kesaman terhadap wayang yakni pentas wayang menyiratkan tata
nilai yang menunjukkan upaya-upaya untuk mencapai keserasian hidup. Keadaan
ideal yang wajib dipertahankan itu berupa keseimbangan tata tertib sosial yang
digambarkan sebagai suatu masyarakat yang adil, tentram, makmur dan aman.
Nilai ketuhanan,
tauhid, yang tertanam di ruh masyarakat Jawa memang kebanyakan berasal dari
nilai kebudayaan, salah satunya adalah dari wayang. Peran wayang sebagai media
penanaman ruh ketuhanan tidak lepas dari kecerdikan walisongo, khususnya Sunan
Kalijaga yang metode dakwahnya lebih mengutamakan dengan nilai-nilai kultural
masyarakat. Masyarakat Jawa yang masih mengagungkan nilai-nilai kultural akan
lebih menerima nilai keagaman jika penyampaiannya itu lebih bersifat halus,
sesuai dengan psikologi masyarakat Jawa yang lebih mengedepankan kehalusan budi
dibandingkan jika pengajaran itu disampaikan dengan cara-cara indoktrinisasi
ekstrem.
Pemahaman mengenai
ketauhidan bagi masyarakat Jawa mungkin akan berbeda dengan pemahaman
ketauhidan dengan bangsa Timur Tengah. Hal ini dikarenakan adalanya akulturasi
budaya Jawa yang dahulunya lebih bersifat dinamisme dan animisme dengan nilai
ketuhanannya yang berasal dari Timur Tengah yang juga sudah diolah secara rasa
maupun karsa oleh pendakwah yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Sedangkan tauhid
sendiri mempunyai arti yang sangat luas dan untuk memudahkan pemahaman kita
mengenal ilmu ketauhidan ini, tauhid diartikan sebagai sikap peng-esa-an
terhadap keeksistensian Tuhan. Sifat keesaan ini menjadi penting bagi umat
Islam dan menjadi identitas sekaligus pembeda dengan agama-agama lain.
Bertauhid dalam agama Islam tidak sekedar mempercayai akan adanya satu Tuhan
tetapi lebih dari itu. Pengesaan ini juga harus ada tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Manusia beragama setidaknya harus dapat menangkap dan
meniru perilaku Tuhan, seperti sifat Rahman dan Rahim-Nya.
Masalah ketauhidan
dalam masyarakat Jawa lebih condong kearah masalah kemakrifatan, yakni memahami
siapa dirinya serta siapa yang menciptakannya. Sangkan paraning dumadi menjadi
wilayah sentral yang sering menjadi kajian sekaligus menjadi tujuan manusia Jawa
dalah meng-illah-kan Tuhan. Hubungan personal manusia Jawa dengan Tuhannya
sepertinya lebih menarik untuk didalami dibanding mengkaji masalah
syari’atnya,. Sehingga tak ayal muncullah konsep manunggaling kawula-Gusti,
sebuah konsep penyatuan hamba dengan Tuhannya.
Hal ini kemudian
menginspirasi para walisongo bagaimana caranya agar konsep tersebut bisa
diterima masyarakat dan tidak mengalami shock dalam beragama. Wayang adalah
jawabannya. Dalam cerita wayang dengan lakon Bima Suci diceritakan bahwa setelah
Bima bersatu dengan Dewa Ruci dan mendapat wejangan spiritual darinya, ia
(Bima) segera mendirikan pertapaan Argakelasa dengan gelar Bima Suci atau Bima
Paksa yang mengajarkan ilmu kesempurnaan hidup.
Menurut Damarjati
Supadjar, serat Bima Suci menggambarkan pertemuan eksistensi dengan esensi,
yang juga dikenal sebagai ngluruh sarira atau racut, mencair, dan melarut.
Tranformasi Bima menjadi Bima Suci atau pertemuan Bima dengan jati dirinya atau
Dewa Ruci serupa dengan pertemuan antara Musa dan Khidir. Hasilnya adalah
kesadaran kosmis, kesatuan lahir dan batin, awal akhir.
Orang Jawa mengenal
tokoh-tokoh wayang cukup familiar dan di antaranya yang paling favorit bahkan
mempunyai nilai sakral adalah semar. Semar menjadi tokoh utama dalam segala hal,
baik sebagai tokoh yang berperan sebagai abdi, penasehat kenegaraan maupun
spiritual. Dalam pewayangan diceritakan bahwa semar tinggal di Karang dempel,
maksudnya Semar selalu tinggal dan menyirami hati setiap hati manusia yang
gersang, gelisah, dan jauh dari Tuhan. Sehingga bisa dikatakan bahwa semar
selalu hadir dan menyantuni orang miskin/kekurangan kebutuhan rohani.
Selain itu, semar juga
diperintahkan untuk menjaga hati manusia-manusia suci agar tidak terkontaminasi
oleh sifat dan nafsu syaithaniyah. Karena itu dalam pewayangan dikatakan bahwa
ia diperintahkan untuk menguasai alam sunyaruri atau alam kosong dan tidak
diperkenankan menguasai manusia di alam dunia. Maksudnya dari alam kosong
adalah alam yang kosong dari cahaya Ilahi yang kemudian Semar diperintahkan
untuk mengisi alam kosong tersebut dengan kebutuhan-kebutuhan rohani yang
berguna bagi manusia.
Sosok semar hadir
untuk menegaskan mengenai arti pentingnya peran agama dalam kehidupan. Agama
berperan menyadarkan manusia dan membawa mereka menuju cahaya. Sosok Semar juga
merupakan symbol al-Qur’an sebagai kalam Ilahi yang sangat penting, yang di dalamnya
memiliki beberapa tujuan mendasar, yaitu:
§ Membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik,
§ Menciptakan kemanusiaan yang adil dan beradab,
§ Menciptakan persatuan dan kesatuan alam, baik alam fisik dengan
metafisik dan masih banyak lagi tujuan yang dibawa oleh sosok Semar dalam
pentas pewayangan.
Dari sosok Punakawan,
baik fisik maupun kehidupan kesehariannya, terkandung pancaran nilai-nilai
ketasawufan. Dalam Islam, aspek tasawuf dipercaya dapat membawa manusia lebih
mendekatkan diri kepada Allah. Dan dalam pencapaiannya, manusia harus menempuh
maqomat kesufian yang tercermin dari Semar
Semar setidaknya memiliki sifat: wijaya (bijaksana dalam
berbakti kepada Negara), mantriwira (dengan senang hati berbakti kepada
Negara), wicaksana maya (bijaksana dalam berbicara dan bertindak), matangwan
(dikasihi dan dicintai rakyat), satya bakti prabu (setia kepada Negara dan
raja), wakniwak (tidak berpura-pura), seharwan pasaman (sabar dan sareh, tidak
gugup dalam hati), dirut saha (jujur, teliti, sungguh-sungguh dan setia), tan
lelana (baik budi dan mengendalikan panca indera), diwiyacita (menghilangkan
kepentingan pribadi), masisi samastha buwana (memperjuangkan kesempurnaan diri
dan kesejahteraan dunia). Dan masih banyak sifat panakawan yang mengarah kepada
konsep hidup ala sufi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar