1.Ajaran Maulana Malik Ibrahim
Menurut setengah riwayat mengatakan, bahwa
beliau berasal dari Persia. Bahkan dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim
beripar dengan raja di negeri Cheermen. Mengenai letak negeri Cheermen itu
terletak di Hindustan, sedangkan ahli sejarah yang lain mengatakan bahwa
letaknya Cheermen adalah di Indonesia.
Adapun mengenai nama kedua orang tuanya, kapan beliau dilahirkan serta dimana, dalam hal ini belum diketahui dengan pasti. ada yang mengatakan bahwa beliau berasal dari Kasyan (Persia). Bilamana beliau meninggal dunia ? Kalau ditilik dari batu nisan yang terdapat pada makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, dekat Surabaya terukir sebagai tahun meninggalnya 882 H, atau tahun 1419 M.
Maulana Malik Ibrahim mulai menyiarkan agama
Islam di tanah Jawa didaerah Jawa Timur. Dari sanalah dia memulai
menyingsingkan lengan bajunya, berjuang untuk mengembangkan agama Islam.Adapun
caranya pertama-tama ialah dengan jalam mendekati pergaulan dengan anak negeri. Dengan
budi bahasa yang ramah tamah serta ketinggian akhlak, sebagaimana diajarkan
oleh Islam, hal itu senantiasa diperlihatkannya didalam pergaulan sehari-hari.
Beliau tidak menentang secara tajam kepada agama
dan kepercayaan hidup dari penduduk asli. Begitu pula beliau tidak menentang
secara spontan terhadap adat istiadat yang ada serta berlaku dalam masyarakat
kita yang masih memeluk agama Hindu dan Buddha itu, melainkan beliau hanya
memperlihatkan kaindahan dan ketinggian ajaran-ajaran dan didikan yang dibawa
oleh Islam. Berkat keramah tamahannya serta budi bahasa dan pergaulannya yang
sopan santun itulah, banyak anak negeri yang tertarik masuk ke dalam agama
Islam.
2.Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Sunan Ampel pada masa kecilnya menurut Babad
Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, bernama Raden Rahmat, lahir pada tahun
1401 di Champa. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana
ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi
bagian dari Surabaya ( kota Wonokromo sekarang)
Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa Raden
Rahmat adalah putra Maulana Malik Ibrahim. Menurut beberapa riwayat, nama
Maulana Malik Ibrahim juga dikenal sebagai Ibrahim Asmarakandi yang berasal
dari Champa dan menjadi raja di sana. Ibrahim Asmarakandi.
Sunan Ampel memiliki silsilah hingga sampai ke
Nabi Muhammad SAW, yaitu :
* Sunan Ampel @ Raden Rahmat
@ Sayyid Ahmad Rahmatillah bin * Maulana Malik Ibrahim @ Ibrahim Asmoro bin *
Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin * Ahmad Jalaludin Khan bin*
Abdullah Khan bin * Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin * Alawi
Ammil Faqih (Hadhramaut) bin * Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
* Ali Kholi' Qosam bin * Alawi Ats-Tsani bin * Muhammad Sohibus Saumi'ah
bin * Alawi Awwal bin * Ubaidullah bin * Ahmad al-Muhajir
bin * Isa Ar-Rumi bin * Muhammad An-Naqib bin * Ali Uraidhi bin
* Ja'far ash-Shadiq bin * Muhammad al-Baqir bin * Ali Zainal Abidin bin *
Imam Husain bin * Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra bin Muhammad.
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan
Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan
langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga
besar Saadah BaAlawi.
Sunan Ampel sebagai sunan yang “dituakan” di
antara delapan Wali Songo lainnya, menjadi Surabaya sebagai pangkal kegiatan
ziarah “Wali Songo”. Dan sudah umum, sebelum melakukan ziarah ke makam-makam
Wali Songo, Masjid Agung Ampel dan makam Sunan Ampel dijadikan tempat start.
Dari sini baru kemudian menuju ke Gresik, Lamongan, Tuban, Gunung Muria, Kudus,
Demak dan finish di Cirebon.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun,
pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan
pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo”
(moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk
“tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan
narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M
di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3.Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Beliau adalah putera dari Sunan Ampel dalam
perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, seorang putera dari Arya Teja, salam
seorang Tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. menurut
dugaan Sunan Bonang dilahirkan dalam tahun 1465 M, serta wafat pada tahun 1525
M.
Maulana Makhdum Ibrahim, semasa hidupnya dengan
gigih giat sekali menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Timur, terutama di
daerah Tuban dan sekitarnya. sebagaimana halnya ayahnya, maka Sunan Bonang pun
mendirikan pondok pesantran di daerah Tuban untuk mendidik serta menggembleng
kader-kader Islam yang akan ikut menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa.
konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti
nama-nama hari nahas/sial menurut kepercayaan Hindu, dan nama-nama dewa Hindu
diganti dengan nama-nama malaikat serta nabi-nabi. Hal mana dimaksudkan untuk
lebih mendekati hari rakyat guna diajak masuk agama Islam.
Karya dan Ajaran
Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup
banyak. Di antaranya sebagaimana disebut B Schrieke (1913), Purbatjaraka
(1938), Pigeaud (1967), Drewes (1954, 1968 dan 1978) ialah Suluk Wujil, Suluk
Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk
Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain. Satu-satunya karangan prosanya yang
dijumpai ialah Wejangan Seh Bari. Risalah tasawufnya yang ditulis dalam bentuk
dialog antara guru tasawuf dan muridnya ini telah ditranskripsi, mula-mula oleh
Schrieke dalam buku Het Boek van Bonang (1913) disertai pembahasan dan
terjemahan dalam bahasa Belanda, kemudian disunting lagi oleh Drewes dan
disertai terjemahan dalam bahasa Inggris yakni The Admonition of Seh Bari (1969).
Dalam Suluk Wujil, yang memuat ajaran Sunan
Bonang kepada Wujil pelawak cebol terpelajar dari Majapahit yang berkat asuhan
Sunan Bonang memeluk agama Islam sang — wali bertutur:
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya
Dan dapat memperbaikinya
Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri`
Sunan Bonang ingin menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi
kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang menentukan yang material, bukan
sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia menyangka yang material
semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi kerohaiannya inilah
manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:
Jangan meninggikan diri
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.
Dalam Suluk Ing Aewuh ia menyatakan:
Perkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
Tamba Ati
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur'an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur'an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
4.Raden Qasim (Sunan Drajat)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel.
Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat
yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari
ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar
di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan
sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan
dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat,
Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat
mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal.
Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang
dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya
adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang
lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang
bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara
anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Jadi bilamana Sunan Drajat memberi contoh serta
menganjurkan kepada rakyat, agar memiliki jiwa sosial serta menganjurkan agar
supaya rakyat suka menolong para fakir dan miskin yang sedang mengalami
penderitaan dan kesempitan, maka hal itu adalah sesuai dengan tuntunan agama.
5.Jaffar Shadiq (Sunan Kudus)
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar
Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung, adalah panglima perang
Kesultanan Demak Bintoro, dan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus
diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima
perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto, dia menjadi
penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan
Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan
Demak.
Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di
Kudus, Sunan Kudus menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat untuk
datang untuk mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus
yang merupakan gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat Masjid
yang disebut Masjid Menara Kudus.
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah
mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid
Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus
berada di alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah.Peninggalan lain dari Sunan Kudus
adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi
dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu
dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk
memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga
saat ini.
6.Raden Paku/Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Kemudian bersama-sama dengan Maulana Makdum
Ibrahim, Raden Paku oleh Sunan Ampel di suruh pergi haji ke Tanah Suci, sampai
memperdalam ilmunya. Tetapi mereka sebelum sampai di tanah suci singgah
terlebihdahulu di Pasai (Aceh), untuk menuntut ilmu kepada para ulama disana.
Adapun yang imaksud ilmu di sini, adalah
ilmu ke Tuhanan menurut ajaran tasawuf. Konon kabarnya memang banyak
ulama-ulama keturunan India dan Persia yang membuka pengajian di pasai di waktu
itu. Bahkan banyak pula ulama-ulama dari Malaka juga kadang-kadang datang
bertanya tentang sesuatu masalah ke Pasai. Sesudah kedua tunas muda itu selesai
menuntut pelajaran di sana, merekapun kembalilah ke tanah Jawa. Raden Paku
berhasil mendapat "Ilmu Laduni", sehingga gurunya di pasai memberinya
nama "Ainul Yaqin".
Raden Paku sekembalinya di tanah Jawa
mengajarkan agama Islam menurut bakatnya. Raden paku atau Syekh Ainul Yaqin
mengadakan tempat berkumpul yang boleh disebut pondok pesantrennya di Giri.
dimana murid-muridnya terdiri pada orang-orang kecil (rakyat jelata).
Diantara permainan kanak-kanak hasil
ciptaan/gubahannya adalah rupa "jitungan" atau "jelungan".
Adapun caranya adalah begini :
Anak-anak banyak, satu diantaranya menjadi
"pemburu", lain-lainnya jadi "buruan" mereka ini akan
'selamat' atau 'bebas' dari terkaman 'pemburunya', apabila telah berpegangan
pada 'jitungan', yaitu satu pohon, tiang atau tonggak yang telah ditentukan
terlebih dahulu.
Permainan dimaksudkan untuk mendidik pengertian
tentang keselamatan hidup, yaitu : bahwa apabila sudah berpegangan kepada
agama yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa sajalah, maka manusia (buruan)
itu akan selamat dari terkaman iblis (pemburunya). Di samping itu diajarkannya
pula nyanyian-nyanyian untuk kanak-kanak yang bersifat paedagogis serta berjiwa
agama, Di antaranya adalah berupa 'tembung dolanan bocah' (lagu permainan
anak-anak), yang berbunyi sebagai berikut :
"Padang-padang bulan, ayo gage da dolanan,
dolanane naning latar, ngalap padang gilar-gilar, nundang bagog
hangatikar", yang dalam bahasa indonesianya kira-kira begini :
"Terang-terang bulan, marilah lekas
bermain, bermain dihalaman, mengambil manfaat dari terang benderang, mengusir
gelap yang lari terbirit-birit".
Adapun maksud dari tembang tersebut di atas itu
adalah : Agama Islam (bulan) telah datang memberi penerangan hidup,
maka marilah segera orang menuntut penghidupan (dolanan, bermain) di bumi ini
(latar, halaman) akan mengambil manfaat ilmu agama Islam (padang, gilar-gilar,
terang benderang) itu, agar sesat kebodohan diri (begog, gelap) segera terusir.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena
pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai
Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak
seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi
Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa
namun syarat dengan ajaran Islam.
Sesudah beliau wafat, kemudian dimakamkan di
atas bukit Giri (Gresik). Setelah Sunan Giri meninggal dunia, berturut-turut
digantikan oleh Sunan Delem, Sunan Sedam Margi, Sunan Prapen.
7.Raden Said (Sunan Kalijogo)
Raden.Mas Syahid atau yang kemudian dikenal
dengan sebutan Sunan Kalijaga., adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatika,
bupati Tuban, ada pula yang mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga
adalah Raden Sabur Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam
perkawinannya dengan Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga
memperoleh 3 orang putera, masing-masing : .R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi
Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Sunan Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap
harum serta dikenang oleh seluruh lapisan masyrakat dari yang atas sampai yang
bawah. hal ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar
manusia besar jiwanya, dan besar pula jasanya. sebagai pujangga, telah banyak
mengarang berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni
lukis yang bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid. disamping itu
pula beliau berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada
sekarang ini.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap
kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi
seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir,
seni pahat. dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan
kalijaga (periode demak) diberi motif "burung" di dalam beraneka
macam. sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat
indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan
pengajaran budi pekerti. di dalam bahasa kawi, burung itu disebut
"kukila" dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari
rangkaian kata : "quu" dan "qilla" atau
"quuqiila", yang artinya "peliharalah ucapan (mulut)-mu.
Hal mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang
bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan
mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa
sunan kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju
kaum pria yang diberinya nama baju "takwo", nama tersebut berasal
berasal dari kata bahasa arab "taqwa" yang artinya ta'at serta
berbakti kepada Allah SWT.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis
dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni
suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan
sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja.
Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian
besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah
Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede
- Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak
8.Raden Umar Said (Sunan Muria)
Sunan Muria dilahirkan dengan
nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut
beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah,
putri Sunan Ngudung.
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya,
Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal
di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama
Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai
penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal
sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya
masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak
yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar
Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan
Kinanti.
Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal
dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
9.Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati)
Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada
sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari
kelompok ulama besar di Jawa bernama Walisongo.
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur
Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan
Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi
cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk
hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean.
Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon
(dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15
kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar