Pesantrenn zaman dahulu |
Salah satu proses islamisasi melalui dakwah Islam yang
dilakukan para penyebar Islam,
melalui pengambilalihan sistem pendidikan lokal berciri Hindu-Budha dan
Kapitayan seperti dukuh, asrama, padepokan, menjadi lembaga pendidikan Islam
yang disebut “pondok pesantren”, tercatat sebagai hasil dakwah menakjubkan.
Dikatakan menakjubkan karena para penyebar Islam yang merupakan guru-guru
ruhani dan tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Wali Songo. Para wali mampu
memformulasikan nilai-nilai sosio-kultur religius yang dianut masyarakat
Syiwa-Budha dengan nilai nilai Islam, terutama dalam memformulasikan nilai
nilai tauhid Syiwa-Budha (adwayasashtra) dengan ajaran tauhid Islam yang dianut
para guru sufi.
Dengan kewaskitaan seorang arif yang sudah tercerahkan,
para guru sufi mengambil alih sistem pendidikn Syiwa-Budha yang disebut “dukuh”
yaitu pertapaan untuk mendidik calon pendeta yang disebut wiku. Naskah-naskah
kuno berbahasa Kawi yang berjudul Silakrama, Tingkahing Wiku dan
Wratisasana yang berasal dari era Majapahit, yang memuat tatakrama yang
mengatur para siswa di sebuah dukuh dalam menuntut ilmu pengetahuan,
mengajarkan bahwa yang disebut gurubakti adalah tatakrama yang
berisi tata tertib, sikap hormat dan sujud bakti yng wajib dilakukan oleh siswa
kepada guru ruhaninya. Para siswa dalam tatakramaya itu, misalnya tidak
diperbolehkan duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotong pembicaraan
guru, menuruti apa yang diucapkan oleh guru, mengindhkan nasehat dan petuah
guru meski dalam keadaan marah, berkata-kata yang menyenangkan guru, jika guru
datang harus segera turun dari tempat duduknya, jika guru berjalan siswa harus
mengikuti dari belakang dan sebagainya. Kepatuhan dan ketundukkan siswa
terhadap guru adalah mutlak.
Gagasan gurubakti dalam silakrama mencakup tiga
guru (triguru), yakni, orang tua yang
melahirkan (guru rupaka), guru yang
mengajarkan ilmu pengetahuan ruhani (guru
pangajyan) dan raja (guru wisesa).
Gagasan triguru ini, sampai sekarang masih bisa kita temukan dan saksikan dalam
masyarakat muslim Madura yang mengenal konsep {bapa-babu-guru-ratu). Yang paling dapat memperoleh penghormatan
dari ketiga guru tersebut adalah guru
pangajyan , karena guru pangajyan telah memberikan kesadaran kedua untuk
mengenal kehidupan di dunia dan di akhirat hinnga mencapai moksha. Khusus untuk
guru pangajyan di dukuh-dukuh yang mengajarkan laku spiritual dan berhak
melakukan diksha(baiat)disebut dengan
gelar”susuhunan” . Demikianlah, guru –guru sufi pada masa silam mendapat gelar
susuhunan; dukuh kemudian disebut pesantren (tempat para santri belajar)
di mana kata santri sendiri adalah adaptasi dari istilah sashtri yang bermakna
orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra)
sebagaimana dikemukakan CC Berg (dalam Gibb, 1932:257),sementara tatakrama
dalam menuntut pengetahuan (gurubhakti)
mirip dengan aturan-aturan yang terdapat dalam kitab Ta’limul Muta’alim, karya Syaikh as Zamuji.
Selain gurubakti, seorang
siswa dalam menuntut ilmu pengetahuan diwajibkan menjalankan ajaran yamabrata, yakni , ajaran yang
mengatur tata cara pengendalian diri,
yang meliputi prinsip hidup yang disebut
ahimsa (tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak membunuh), menjahui sifat krodha (marah), moha ( gelap pikiran), mana (angkara
murka), mada (takabur), matsarya ( iri dan dengki), dan raga (mengumbar hawa nafsu). Di dalam
naskah Wratisasana disebutkan lima
macam yamabrata yang mencakup
ahimsa, brahmacari, satya, aharalaghawa dan asetya. Meski prinsip ahimsa
dimaknai tidak menyakiti dan tidak membunuh daan seorang wiku harus memiliki
sifat kasih sayang terhadap setiap makhluk, tetapi ditegaskan bahwa seorang
wiku (siswa ruhani) boleh melakukan himsakrama
(qishash). , yaitu membunuh atau menyakiti
orang jahat yang berlaku kejam terhadap dirinya dalam usaha bela diri. Namun, himsakrama, tidak boleh dilakukan
terhadap seorang penjahat yang sudah tertangkap atau tidak berdaya. Wiku yang
disiksa, ditindas, dianiaya, dipukuli, dicaci-maki harus membalasnya dengan
setimpal.
Seorang wiku diharuskan bersifat satya, yaitu, jujur, tidak bicara kotor (wakparusya), ucapannya tidak menyakiti hati, tidak memaki, tidak
mengutuk, tidak menyumpah, dan tidak berdusta (ujarmadwa). Satya juga bermakna taat dan setia melakukan brata yang terkait dengan makanan,
minuman, tata cara berpakaian, tempat tinggal, hingga perhiasan yang disebut
sebagai satyabrata. Diantara isi satyabrata yang sangat mirip dengan
syariat Islam adalah yang menyangkut halal dan haramnya makanan (tan bhaksanan) dan minuman (apeya-peya). Seorang wiku diharamkan
memakan daging babi piaraan (celengwanwa), anjing (swana), landak, biawak, kura-kura (kurma), badak (warak),
kucing (kuwuk), tikus (tekes), ular (sarpa), macan (rimong, sardhula), kukur (ruti), kalajengking (teledu), kera (wre), rase, tupai (wut), katak (wiyung),
kadal (dindang kadal), hewan melata,
burung buas (krurapaksi), burung
gagak (nilapaksi), lalat (laler),
kepinding (tinggi), kutu (tumo), ulat atau cacing tanah (bhuhkrim), dan sebagainya. Seorang wiku
juga tidak boleh makan-makanan yang tidak suci (camah) atau menjijikkan dan yang diragukan kesuciannya. Selain
makanan, seoarng wiku juga wajib menghindari minuman keras yang memabukkan
seperti arak, nira, anggur, brem dan ciu. Demikianlah ajaran yamabrata ini
sampai sekarang dapat kita saksikan dalam kehidupan para santri di
pesantrenkendati santri bukanlah calon pendeta.
Ajaran niyamabrata
tak jauh berbeda dengan yamabrata, yaitu pengendalian diri. Tetapi niyamabrata memiliki makna tinggat lebih
lanjut. Silakrama menyebut, niyamabrata bukan saja melarang wiku
marah tetapi sudah pada tingkat tidak
suka marah (akradha). Secara ruhani,
siswa selalu ingin berhubungan dengan guru (guru
susrusa), memohon bersihan batin (sausaracara),
mandi tiap hari menyucikan diri (madyus
acuddha sarira), bersembayang memuja
Syiwaditya, melatih menyemayamkan Tuhan di dalam hati (maglar sanghyang anusthana), berdoa (majapa), dan mahoma. Di dalam ajaran tasawuf, yamabrata dan
niyamabrata dapat dibandingkan dengan takhalli (usaha membersihkan diri dari nafsu-nafsu rendah) dan tahalli
(menghiasi diri dengan sifat sifat Ilahi) sehingga seorang penempuh jalan
ruhani mencapai tajalli (penyingkapan diri), yakni, beroleh pencerahan
mengetahui kebenaran sejati. Demikianlah ajaran tasawuf dapat diterima
masyarakat karena ada anggapan umum bahwa pengetahuan ruhani Islam tidak
berbeda dengan Syiwa-Budha.
Ajaran aharalaghawa
adalah bagian dari niyambrata yang
bermakna tidak berlebihan. Ini dalam konsep Jawa disebut madya ora ngoyo lan orang ngongso, tidak berlebihan dan tidak
melampaui batas (di dalam Islam disebut
wasathan). Aharalaghawa, lebih
dimaknai makan tidak berlebihan (tidak
makan jika tidak lapar dan makan pun tidak boleh kenyang), memakan makanan suci,
membatasi makan daging (bhogasarwamangsa),
bersyukur dengan makanan yang dimakan (santosa),
tidak rakus (wubhuksah), dan tidak
malas dalam menjalankan kewajiban (aparamada).
Bagian akhir sesudah aharalaghawa adalah asetya, yaitu
tidak mengikuti hasrat hati untuk memiliki hak milik orang lain, bahkan
terhadap hak binatang sekalipun. Silkrama menyebut jika seseorang wiku
mengambil hak milik orang lain tanpa izin (panolong
–nolongan), mencuri (malinga),
mengutil (angutil), menadahi barang
curian atau kejahatan (anumpu), merampok (ambegal),
melakukan tindak kriminal (carah),
merampas (angalap), berkawan dengan
pencuri (amitra maling), meminjam tidak mengembalikan (aneleng drewyaning sanak tan pangulihaken), utang-piutang dengan
bunga (ma-mi), berjudi (ajudi) dan perbuatan nista lain, maka ia akan jatuh
martabat dan kehormatannya (panten). Wiku yang dinilai panten akan dikucilkan, tidak boleh dilihat (tan wenang tinghalana) dan tidak boleh diajak bicara (sabhasanen).
Berdasar uraian di atas, jelaslah bahwa dalam pendidikan
seorang wiku (calon pendeta Syiwa-Budha) di tempat yang disebut dukuh, terdapat
kemiripan-kemiripan dengan pendidikan di pesantren-pesantren tradisonal Islam,
di mana aspek pendidikan lebih dititik beratkan kepada pembentukan watak dan
budi pekerti siswa-siswa yang ditandai oleh lulusan-lulusan berwatak mulia,
cerdas, berbudi luhur, jujur, tidak membenci, suka menolong, menjalankan
syariat dengan baik, selalu bersyukur dan berusaha mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Bertolak dari kemiripan-kemiripan nilai-nilai adan ajaran Syiwa-Budha dengan Islam, pra ulama sufi di era Walisongo dapat dengan baik membumikan Islam di Jawa melalui asimilasi, di mana salah satu usaha yang dilakukan oleh ulama-ulama era Wali Songo tersebut mengembangkan jumlah dukuh ke berbagai thani (sebutan desa di era Majapahit). Yang paling jelas menyisakan legenda dan mitos pembangunan dukuh-dukuh ini adalah tokoh Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar, yang diketahui membangun puluhan dukuh bercitra caturbhasa mandala yang dinamai Dukuh Lemah Abang (tanah merah), Lemah Putih (tanah putih), Lemah Ireng (tanah Hitam), dan Ksiti Jenar (tanah Kuning). Dari dukuh-dukuh Lemah Abang yang ditinggali murid-murid dan pengikut Syaikh Siti Jenar, yang cenderung melakukan perlawanan terhadap kerajaan, lahir varian masyarakat Jawa yang disebut golongn abangan, yang menurut Prof, Suripan Sadi Hutomo (1987) tergambarkan dalam Wayang Krucil yang menempatkan Syaikh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga sebagai tokoh dari golongan Abangan. Di Ampeldento pun, letak dukuh berada di selatan masjid yang sampai sekarang dikenal dengan toponim Kampung Dukuh, yang letaknya sekitar satu kilometer dari lokasi Masjid Agung Ampel.
Demikianlah, keberadaan pesantren sebagai asimilasi dari
pendidikan dukuh, asrama, padepokan yang berlangsung hingga abad ke 21 ini,
menyisakan nilai-nilai pendidikan dukuh yang bersumber dari sistem pendidikan
Hindu-Budha. Budha dan Kapitayan.
Sumber:
Atlas Wali Songo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar