Rabu, 16 Agustus 2017

Pesantren Hasil Asimilasi Pendidikan Hindu- Budha

Pesantrenn zaman dahulu
Peranan para guru-guru rohani atau yang popular disebut wali songo dalam penyebaran Islam patut kita hargai. Berbagai cara beliau lakukan untuk memberikan ilmu dan pengetehuan tetang Islam di tengah masyarakat Nusantara yang kala itu masih memiliki pemahaman Hindu-Budha dan Kapitayan yang cukup kental. Kendati demikain, toh pada saatnya, para guru-guru rohani bisa menempatkan Islam sebagai landasan hidup masyarakat Musantara hingga kini.

Salah satu proses islamisasi melalui dakwah Islam yang dilakukan para penyebar Islam, melalui pengambilalihan sistem pendidikan lokal berciri Hindu-Budha dan Kapitayan seperti dukuh, asrama, padepokan, menjadi lembaga pendidikan Islam yang disebut “pondok pesantren”, tercatat sebagai hasil dakwah menakjubkan. Dikatakan menakjubkan karena para penyebar Islam yang merupakan guru-guru ruhani dan tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Wali Songo. Para wali mampu memformulasikan nilai-nilai sosio-kultur religius yang dianut masyarakat Syiwa-Budha dengan nilai nilai Islam, terutama dalam memformulasikan nilai nilai tauhid Syiwa-Budha (adwayasashtra) dengan ajaran tauhid Islam yang dianut para guru sufi.
Dengan kewaskitaan seorang arif yang sudah tercerahkan, para guru sufi mengambil alih sistem pendidikn Syiwa-Budha yang disebut “dukuh” yaitu pertapaan untuk mendidik calon pendeta yang disebut wiku. Naskah-naskah kuno  berbahasa Kawi  yang berjudul Silakrama, Tingkahing Wiku dan Wratisasana yang berasal dari era Majapahit, yang memuat tatakrama yang mengatur para siswa di sebuah dukuh dalam menuntut ilmu pengetahuan, mengajarkan bahwa yang disebut gurubakti adalah tatakrama yang berisi tata tertib, sikap hormat dan sujud bakti yng wajib dilakukan oleh siswa kepada guru ruhaninya. Para siswa dalam tatakramaya itu, misalnya tidak diperbolehkan duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan oleh guru, mengindhkan nasehat dan petuah guru meski dalam keadaan marah, berkata-kata yang menyenangkan guru, jika guru datang harus segera turun dari tempat duduknya, jika guru berjalan siswa harus mengikuti dari belakang dan sebagainya. Kepatuhan dan ketundukkan siswa terhadap guru adalah mutlak.

Gagasan gurubakti dalam silakrama mencakup tiga guru (triguru), yakni, orang tua yang melahirkan (guru rupaka), guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan ruhani (guru pangajyan) dan raja (guru wisesa). Gagasan triguru ini, sampai sekarang masih bisa kita temukan dan saksikan dalam masyarakat muslim Madura yang mengenal konsep {bapa-babu-guru-ratu). Yang paling dapat memperoleh penghormatan dari ketiga guru tersebut adalah guru pangajyan , karena guru pangajyan telah memberikan kesadaran kedua untuk mengenal kehidupan di dunia dan di akhirat hinnga mencapai moksha. Khusus untuk guru pangajyan di dukuh-dukuh yang mengajarkan laku spiritual dan berhak melakukan diksha(baiat)disebut dengan gelar”susuhunan” . Demikianlah, guru –guru sufi pada masa silam mendapat gelar susuhunan; dukuh kemudian disebut pesantren (tempat para  santri belajar) di mana kata santri sendiri adalah adaptasi dari istilah sashtri yang bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra) sebagaimana dikemukakan CC Berg (dalam Gibb, 1932:257),sementara tatakrama dalam menuntut pengetahuan (gurubhakti) mirip dengan aturan-aturan yang terdapat dalam kitab Ta’limul Muta’alim, karya Syaikh as Zamuji.

Selain gurubakti, seorang siswa dalam menuntut ilmu pengetahuan diwajibkan menjalankan ajaran yamabrata, yakni , ajaran yang mengatur  tata cara pengendalian diri, yang meliputi prinsip hidup yang disebut ahimsa (tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak membunuh), menjahui sifat krodha (marah), moha ( gelap pikiran), mana (angkara murka), mada (takabur), matsarya ( iri dan dengki), dan raga (mengumbar hawa nafsu). Di dalam naskah Wratisasana disebutkan lima macam yamabrata yang mencakup   ahimsa, brahmacari, satya, aharalaghawa dan asetya. Meski prinsip ahimsa dimaknai tidak menyakiti dan tidak membunuh daan seorang wiku harus memiliki sifat kasih sayang terhadap setiap makhluk, tetapi ditegaskan bahwa seorang wiku (siswa ruhani) boleh melakukan himsakrama (qishash). , yaitu membunuh atau menyakiti orang jahat yang berlaku kejam terhadap dirinya dalam usaha bela diri. Namun, himsakrama, tidak boleh dilakukan terhadap seorang penjahat yang sudah tertangkap atau tidak berdaya. Wiku yang disiksa, ditindas, dianiaya, dipukuli, dicaci-maki harus membalasnya dengan setimpal.

Seorang wiku diharuskan bersifat satya, yaitu, jujur, tidak bicara kotor (wakparusya), ucapannya tidak menyakiti hati, tidak memaki, tidak mengutuk, tidak menyumpah, dan tidak berdusta (ujarmadwa). Satya juga bermakna taat dan setia melakukan brata yang terkait dengan makanan, minuman, tata cara berpakaian, tempat tinggal, hingga perhiasan yang disebut sebagai satyabrata. Diantara isi satyabrata yang sangat mirip dengan syariat Islam adalah yang menyangkut halal dan haramnya makanan   (tan bhaksanan) dan minuman (apeya-peya). Seorang wiku diharamkan memakan daging babi piaraan (celengwanwa), anjing (swana), landak, biawak, kura-kura (kurma), badak (warak), kucing (kuwuk), tikus (tekes), ular (sarpa),  macan (rimong, sardhula), kukur (ruti), kalajengking (teledu), kera (wre), rase, tupai (wut),  katak (wiyung), kadal (dindang kadal), hewan melata, burung buas (krurapaksi), burung gagak (nilapaksi),  lalat (laler), kepinding (tinggi), kutu (tumo), ulat atau cacing tanah (bhuhkrim), dan sebagainya. Seorang wiku juga tidak boleh makan-makanan yang tidak suci (camah) atau menjijikkan dan yang diragukan kesuciannya. Selain makanan, seoarng wiku juga wajib menghindari minuman keras yang memabukkan seperti arak, nira, anggur, brem dan ciu. Demikianlah ajaran yamabrata ini sampai sekarang dapat kita saksikan dalam kehidupan para santri di pesantrenkendati santri bukanlah calon pendeta.

Ajaran niyamabrata tak jauh berbeda dengan yamabrata, yaitu pengendalian diri. Tetapi niyamabrata memiliki makna tinggat lebih lanjut. Silakrama menyebut, niyamabrata bukan saja melarang wiku marah tetapi  sudah pada tingkat tidak suka marah (akradha). Secara ruhani, siswa selalu ingin berhubungan dengan guru (guru susrusa), memohon bersihan batin (sausaracara), mandi tiap hari menyucikan diri (madyus acuddha sarira),  bersembayang memuja Syiwaditya, melatih menyemayamkan Tuhan di dalam hati (maglar sanghyang anusthana), berdoa (majapa), dan mahoma. Di dalam ajaran tasawuf, yamabrata dan niyamabrata dapat dibandingkan dengan takhalli (usaha membersihkan diri dari nafsu-nafsu rendah) dan tahalli  (menghiasi diri dengan sifat sifat Ilahi) sehingga seorang penempuh jalan ruhani mencapai tajalli (penyingkapan diri), yakni, beroleh pencerahan mengetahui kebenaran sejati. Demikianlah ajaran tasawuf dapat diterima masyarakat karena ada anggapan umum bahwa pengetahuan ruhani Islam tidak berbeda dengan Syiwa-Budha.

Ajaran aharalaghawa adalah bagian dari niyambrata yang bermakna tidak berlebihan. Ini dalam konsep Jawa disebut madya ora ngoyo lan orang ngongso, tidak berlebihan dan tidak melampaui batas (di dalam Islam disebut wasathan). Aharalaghawa, lebih dimaknai makan tidak berlebihan (tidak makan jika tidak lapar dan makan pun tidak boleh kenyang), memakan makanan suci, membatasi makan daging (bhogasarwamangsa), bersyukur dengan makanan yang dimakan (santosa), tidak rakus (wubhuksah), dan tidak malas dalam menjalankan kewajiban (aparamada).

Bagian akhir sesudah aharalaghawa adalah asetya, yaitu tidak mengikuti hasrat hati untuk memiliki hak milik orang lain, bahkan terhadap hak binatang sekalipun. Silkrama menyebut jika seseorang wiku mengambil hak milik orang lain tanpa izin (panolong –nolongan), mencuri (malinga), mengutil (angutil), menadahi barang curian atau kejahatan (anumpu), merampok (ambegal), melakukan tindak kriminal (carah), merampas (angalap), berkawan dengan pencuri (amitra maling), meminjam tidak mengembalikan (aneleng drewyaning sanak tan pangulihaken), utang-piutang dengan bunga (ma-mi), berjudi (ajudi) dan perbuatan nista lain, maka ia akan jatuh martabat dan kehormatannya (panten). Wiku yang dinilai panten akan dikucilkan, tidak boleh dilihat (tan wenang tinghalana) dan tidak boleh diajak bicara (sabhasanen).

Berdasar uraian di atas, jelaslah bahwa dalam pendidikan seorang wiku (calon pendeta Syiwa-Budha) di tempat yang disebut dukuh, terdapat kemiripan-kemiripan dengan pendidikan di pesantren-pesantren tradisonal Islam, di mana aspek pendidikan lebih dititik beratkan kepada pembentukan watak dan budi pekerti siswa-siswa yang ditandai oleh lulusan-lulusan berwatak mulia, cerdas, berbudi luhur, jujur, tidak membenci, suka menolong, menjalankan syariat dengan baik, selalu bersyukur dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan.

Bertolak dari kemiripan-kemiripan nilai-nilai adan ajaran Syiwa-Budha dengan Islam, pra ulama sufi di era Walisongo dapat dengan baik membumikan Islam di Jawa melalui asimilasi, di mana salah satu usaha yang dilakukan oleh ulama-ulama era Wali Songo tersebut mengembangkan jumlah dukuh ke berbagai  thani  (sebutan desa di era Majapahit). Yang paling jelas menyisakan legenda dan mitos pembangunan dukuh-dukuh ini adalah tokoh Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar, yang diketahui membangun puluhan dukuh bercitra  caturbhasa mandala  yang dinamai Dukuh Lemah Abang (tanah merah), Lemah Putih (tanah putih), Lemah Ireng (tanah Hitam), dan Ksiti Jenar (tanah Kuning). Dari dukuh-dukuh Lemah Abang yang ditinggali murid-murid dan pengikut Syaikh Siti Jenar, yang cenderung melakukan perlawanan terhadap kerajaan, lahir varian masyarakat Jawa yang disebut golongn abangan, yang menurut Prof, Suripan Sadi Hutomo (1987) tergambarkan dalam Wayang Krucil yang menempatkan Syaikh Siti  Jenar dan Sunan Kalijaga sebagai tokoh dari golongan Abangan. Di  Ampeldento pun, letak dukuh berada di selatan masjid yang sampai sekarang dikenal dengan toponim Kampung Dukuh, yang letaknya sekitar satu kilometer dari lokasi Masjid Agung Ampel.

Demikianlah, keberadaan pesantren sebagai asimilasi dari pendidikan dukuh, asrama, padepokan yang berlangsung hingga abad ke 21 ini, menyisakan nilai-nilai pendidikan dukuh yang bersumber dari sistem pendidikan Hindu-Budha. Budha dan Kapitayan.  
Sumber:  Atlas Wali Songo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengunjungi Makam Wali Allah, Sultan Suriansyah

Makam Sultan Suriansyah   S ultan Suriansyah, berasal dari keturunan raja-raja Kerajaan Negara Daha. Ia merupakan Raja Banjar pertama yan...